Jakarta, tvOnenews.com - Regulasi Uni Eropa mengenai produk bebas deforestasi atau The European Union on Deforestation-free Regulation (EUDR) terus memicu penolakan dari berbagai negara. Setelah 17 negara menyatakan penolakannya, puluhan senator di Amerika Serikat juga mulai khawatir regulasi ini akan mengancam industri pulp and paper (bubur kertas) negara tersebut.
Regulasi EUDR yang disahkan 29 Juni 2023 berisi aturan ketat terhadap sejumlah jenis produk yang masuk ke Uni Eropa. Aturan ini akan berlaku efektif mulai akhir Desember 2024, dan membuat berbagai produk terkait deforestasi tidak bisa lagi diekspor dan dijual di Uni Eropa.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan, berlakunya EUDR akan mengancam negara - negara penghasil sejumlah produk yang diatur mulai dari kayu, sawit, kopi, kakao, kedelai, karet, hingga daging sapi.
Saat ini, telah terdapat 17 negara berpikiran senada atau like-minded countries, yang menyuarakan keberatan terhadap regulasi EUDR tersebut. Bukan hanya negara berkembang, negara maju seperti Amerika Serikat juga mulai khawatir dengan regulasi Uni Eropa yang dinilai tidak mempertimbangkan nasib petani dan peternak di berbagai negara.
"Selain itu, sebanyak 27 Senator Amerika Serikat telah bersurat kepada Perwakilan Dagang Amerika Serikat Katherine Tai untuk menyatakan kekhawatiran tentang dampak negatif dari kebijakan EUDR, terutama bagi produsen pulp and paper Amerika Serikat," kata Airlangga Hartarto dalam keterangan tertulisnya, Jumat (26/4/2024).
Dia menjelaskan, surat tersebut menyoroti persyaratan yang ketat dari EUDR, terutama mengenai traceability dan geolocation yang sulit dipenuhi oleh industri pulp and paper di Amerika Serikat.
Para Senator tersebut meminta Katherine Tai untuk terus berkomunikasi dengan pemangku kebijakan di Uni Eropa, dan mendorong Uni Eropa untuk mengakui bahwa Amerika Serikat memiliki standar regulasi yang kuat untuk melindungi keberlanjutan hutan di Amerika Serikat.
"Respons Amerika Serikat menunjukkan kekhawatiran bahwa kebijakan EUDR sangatlah merugikan terutama bagi para petani dan merupakan kebijakan yang diskriminatif," kata Airlangga Hartarto.
Bahkan dari pihak Uni Eropa sendiri, keberatan juga telah disampaikan oleh Asosiasi Utama Petani di Uni Eropa, Copa Cogeca, yang mengatakan tidak mungkin bagi mereka untuk dapat melaksanakan ketentuan dalam EUDR pada waktunya.
Regulasi Kontroversial
Awalnya regulasi EUDR diuraikan dalam Komunikasi Komisi Uni Eropa tahun 2019. Ide awalnya adalah untuk mencegah dan meminimalkan risiko deforestasi dan degradasi hutan di seluruh dunia. Dengan membatasi produk - produk yang yang terkait deforestasi, Uni Eropa harus bisa lebih berperan dalam menjaga lingkungan global.
Regulasi EUDR ini akhirnya disetujui dan ditetapkan Uni Eropa pada 29 Juni 2023. Selanjutnya, para pemasok tujuh kelompok barang terkait, diberi waktu 18 bulan untuk memenuhi sejumlah regulasi yang ditetapkan. Jika gagal memenuhi persyaratan, maka produk - produk tersebut tidak boleh lagi dijual di Uni Eropa mulai 30 Desember 2024.
Namun, aturan ini dipandang tidak masuk akal, karena para penghasil tujuh komoditas yang diatur wajib menyertakan geolokasi untuk memastikan produk tersebut bukan datang dari lahan deforestasi.
"Selain itu, EUDR juga tidak memperhatikan kondisi kemampuan setempat seperti petani kecil, peraturan negara produsen yang berdaulat seperti ketentuan skema sertifikasi sawit yang berkelanjutan, hingga ketentuan mengenai perlindungan data pribadi," kata Airlangga Hartarto.
Apalagi, regulasi EUDR tersebut dinilai sebagai bentuk diskriminasi dari Uni Eropa, dan menjadi bentuk hukuman terhadap 7 komoditas dalam EUDR. Ditambah lagi, kebijakan ini berpotensi tidak sejalan dengan ketentuan World Trade Organization (WTO).
Menjadi negara yang bakal terancam regulasi EUDR, Indonesia bersama Malaysia terus menyuarakan keberatan terhadap kebijakan EUDR tersebut. Sejak Mei 2023, kedua negara telah berupaya melobi agar rancangan aturan EUDR tidak sampai ditetapkan.
Gagal melobi berbagai pihak untuk mengalir rancangan regulasi EUDR saat itu, Indonesia dan Malaysia kembali berupaya mengungkapkan kekhawatirannya sebelum pelaksanaan EUDR akan mulai berlaku efektif pada Januari 2025.
Indonesia dan Malaysia telah membentuk Joint Task Force (JTF) untuk membahas berbagai concern dan kehawatiran negara produsen, dan berkomunikasi intensif dengan perwakilan dari Uni Eropa. (hsb)
Load more