Jakarta, tvOnenews.com - Nilai tukar (kurs) rupiah terus mengalami penurunan terhadap dolar AS.
Penurunan tersebut dipengaruhi oleh data inflasi Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index/CPI) Amerika Serikat (AS) Maret 2024 yang naik.
"Hal tersebut terjadi karena pada beberapa rilisan angka fundamental penting Amerika yang mendukung kekokohan dolar AS, angka Inflasi Consumer Price Index periode bulanan naik menjadi 0,4 persen dari perkiraan 0,3 persen," kata analis Finex Brahmantya Himawan dikutip tvOnenews.com dari Antara.
Menurut analis, rupiah saat ini sangat terbebani dan telah mencapai lebih dari Rp16.000. Bahkan perputaran uang yang besar selama Ramadhan dan Idul Fitri masih belum mampu membendung dampak penguatan dolar AS terhadap rupiah, sehingga dapat dikatakan faktor dari luar yang lebih dominan dalam pelemahan rupiah ini.
Angka CPI AS periode tahunan pada Maret 2024 juga naik menjadi 3,5 persen dari periode sebelumnya yang hanya 3,2 persen.
Angka tersebut mengindikasikan bahwa target inflasi bank sentral AS atau The Fed masih jauh sehingga pemangkasan suku bunga kebijakan AS berpotensi tidak terjadi dalam waktu dekat, sebagaimana yang dikatakan Ketua The Fed Jerome Powell bahwa masih menanti isyarat dan angka inflasi mengarah ke 2 persen.
Disusul angka penjualan ritel Amerika yang meningkat menjadi 0,7 persen, jauh di atas perkiraan yang hanya 0,4 persen, mengukuhkan penguatan dolar AS terhadap rupiah.
Dari sisi geopolitik, konflik antara Iran dan Israel membuat pedagang mengalihkan pandangan terhadap aset safe haven mata uang yaitu dolar AS.
"Saat ini tren penguatan dolar AS masih terlihat jelas sehingga rupiah berpotensi akan terdepresiasi lebih lanjut," ujarnya.
Brahmantya memprediksi, rupiah akan bergerak pada kisaran Rp15.850 per dolar AS sampai dengan Rp16.250 per dolar AS. (ant/rpi)
Load more