Kasus Kekerasan Keluarga Pasien Terhadap Dokter Residen RSUP Dr Sardjito, DPRD DIY dan Dinkes Siapkan Evaluasi
- Tim tvOne - Sri Cahyani Putri
Sleman, tvOnenews.com - DPRD DI Yogyakarta mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan oleh keluarga pasien terhadap seorang dokter residen di RSUP Dr Sardjito.
Meski insiden itu terjadi di rumah sakit vertikal di bawah kewenangan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), namun hal ini menjadi keprihatinan bersama.
Berkaca kejadian tersebut, kalangan legislatif khususnya Komisi D DPRD DI Yogyakarta segera berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan (Dinkes) setempat untuk melakukan evaluasi pelayanan rumah sakit agar kejadian serupa tidak kembali terulang di sejumlah rumah sakit yang ada di provinsi ini.
"Kalau ini (kekerasan) terjadi di Sardjito, kita tidak punya kewenangan karena RSUP Dr Sardjito adalah rumah sakit vertikal punya Kemenkes. Namun karena rumah sakitnya berada di DIY pasti akan menjadi perhatian komisi D. Saya akan segera koordinasi dengan Dinkes untuk mengevaluasi pelayanan publik pasien di rumah sakit yang ada di DIY," tutur RB Dwi Wahyu, Ketua Komisi D DPRD DIY kepada awak media, Selasa (26/8/2025).
Menurutnya, bicara soal pelayanan rumah sakit, harus disamakan antara sistem dengan kelembagaan pendidikannya.
Hal ini supaya lembaga pendidikan cocok dengan kebutuhan sistem yang berlaku di rumah sakit. Selanjutnya, bagaimana sistem pelayanan itu tersosialisasi ke keluarga pasien maupun pasien itu sendiri.
"Karena yang terjadi, bicara tentang pasien dan keluarga pasien di rumah sakit itu bicara trust. Ketika trust tidak terjadi, maka akan terjadi kecurigaan. Karena tidak ada kesepahaman aturan-aturan yang berlaku di rumah sakit tentang pelayanan pasien," ucap Dwi Wahyu.
Sebab, setengah persen dari kesembuhan pasien adalah kepercayaan terhadap rumah sakit. Maka dari itu, kepercayaan harus dibangun oleh tiga belah pihak yakni rumah sakit, medis dan keluarga pasien.
Diberitakan sebelumnya, kasus kekerasan terhadap dokter residen di RSUP Dr Sardjito inisial Dr.EN mencuat setelah diunggah oleh akun Instagram @drg.mirza.
Manager Hukum dan Humas RSUP Dr Sardjito, Banu Hermawan menceritakan bahwa peristiwa ini bermula pada Jumat (22/8/2025) yang mana RSUP Dr Sardjito menerima seorang pasien rujukan dari rumah sakit di Magelang dalam kondisi kritis.
Saat itu, pasien terindikasi pendarahan lambung sehingga membutuhkan salah satunya penanganan endoskopi. Selain itu, pasien juga diinformasikan sempat henti jantung sebelum akhirnya dirujuk.
Setelah dirujuk ke RSUP Dr Sardjito, pasien itu ditangani oleh tim anestesi dengan kolaborasi beberapa subspesialis.
"Setelah dirujuk ke Sardjito, pasien dilakukan perbaikan kondisi sebelum dilakukan tindakan medis lain. Jadi tidak langsung di endoskopi," terang Banu saat konferensi pers, Senin (25/8/2025).
Namun pada Sabtu (23/8/2025) dini hari, lanjut Banu, residen anestesi yang melakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP) menyatakan pasien tidak tertolong. Kabar duka itu memicu rasa emosional sesaat dari keluarga pasien.
"Secara spontan, terjadilah kontak fisik yang dialami residen kami yang berjenis kelamin pria inisial Dr. EN. Kontak fisik itu mengenai tangannya. Saat itu, dia sudah menolong pasien dengan melakukan RJP secara maksimal," kata Banu.
Menurutnya, penanganan yang dilakukan oleh residennya juga sudah sesuai prosedur layanan medis dan saat itu dalam supervisi para senior atau Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) yang menangani pasien.
Diketahui, pasien itu memiliki enam orang anak. Salah satunya adalah seorang dokter subspesialis dari RS lain. Sementara, pelaku kekerasan terhadap residen RSUP Dr Sardjito merupakan saudara perempuan dari dokter tersebut.
Pada Minggu (24/8/2025) pagi, pihak RSUP Dr Sardjito meminta residennya untuk visum. Ini sebagai bukti jika yang bersangkutan ingin membawa kasus ini ke proses secara hukum.
Namun dalam perkembangannya, ada permintaan maaf dari keluarga pasien. Kemudian, RSUP Dr Sardjito menyampaikan permintaan maaf itu kepada residennya.
"Yang bersangkutan menerima permintaan maaf dari keluarga pasien untuk berdamai dengan membuat surat permintaan maaf yang ditandatangani di atas materai," ungkap Banu. (scp/buz)
Load more