Bahas Masa Depan SDM dan Sektor Digital Informal, Kemenko PMK Gelar Simposium Nasional
- Istimewa
tvOnenews.com - Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) menyelenggarakan "Simposium Integrasi Kebijakan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Sektor Digital Informal" selama dua hari di Jakarta. Acara ini menghadirkan berbagai pemangku kepentingan didalam ekosistem untuk merumuskan strategi pengembangan SDM digital informal dalam merespons transformasi kerja dan tumbuhnya sektor digital informal di Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Pratikno, dalam pidato pembukaannya menekankan pentingnya Indonesia untuk dapat beradaptasi terhadap perubahan lanskap pekerjaan.
“Adopsi teknologi dan ekonomi digital yang berkembang pesat memiliki tantangan berupa kesenjangan keterampilan SDM kita. Untuk itu diperlukan pengembangan SDM dengan mengintegrasikan kompetensi talenta digital sebagai prioritas utama dan kemitraan tripartit untuk menyesuaikan dengan perubahan lanskap pekerjaan di era ekonomi digital,” ujar Pratikno pada Rabu (25/6).
Simposium ini menyoroti bahwa sektor digital informal yang mencakup segmentasi pekerja transportasi online, konten kreator, desainer lepas, kurir logistik, pekerja rumah tangga on-demand, hingga profesi digital informal lainnya telah menjadi pilar ekonomi digital dan alternatif utama di tengah keterbatasan akses terhadap pekerjaan formal.
Pada kesempatan yang sama Stella Christie, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi menekankan pentingnya fleksibilitas kurikulum dalam menghadapi disrupsi teknologi.
“Perguruan tinggi harus mampu menjadi pusat pembelajaran yang adaptif, bukan hanya mencetak lulusan tetapi juga membentuk para pembelajar yang adaptif. Untuk itu, penguatan skema mikro kredensial menjadi kunci agar pendidikan tinggi dapat menjangkau lebih banyak pembelajar lintas usia dan sektor, terutama mereka yang bekerja di sektor digital informal,” ujar Stella.
Pentingnya merumuskan kebijakan yang adaptif terhadap perkembangan sektor digital informal juga menjadi fokus utama dalam diskusi simposium ini. Dengan pesatnya pertumbuhan ekosistem digital yang melibatkan jutaan pekerja non-formal, para pemangku kepentingan sepakat bahwa pendekatan regulasi tidak bisa lagi bersifat satu arah atau berbasis sistem lama.
Mohammad Rudy Salahuddin, Deputi Bidang Koordinasi Industri, Ketenagakerjaan dan Pariwisata, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, menyoroti pentingnya kebijakan berbasis bukti dan lintas sektor.
“Kita tidak bisa mengatur sektor digital informal dengan pendekatan konvensional atau langsung dilakukan formalisasi karena efek dominonyau luas. Diperlukan data yang akuratdan kemitraan strategis antara pemerintah, industri, dan pelaku platform untuk dapat menghasilkan kebijakan yang responsif dan relevan di era ekonomi digital saat ini,” tegas Rudy.
Simposium ini juga menyoroti pentingnya ekonomi digital sebagai bantalan sosial di tengah tantangan dunia kerja. Pekerja lepas atau gig worker seperti ojek online diakui sebagai bagian penting dari ekosistem digital yang berkembang pesat.
Menurut Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital CELIOS, hasil Sakernas 2022 mencatat sekitar 1 juta gig worker berprofesi sebagai ojek online. Ia menekankan dampak positif sektor ini, khususnya di layanan ride-hailing.
“Kota-kota yang memiliki layanan ride-hailing tercatat memiliki tingkat kemiskinan 37% lebih rendah dibandingkan kota lain,” jelasnya.
Atas dasar itu, menurutnya pertumbuhan sektor ini perlu dijaga, sekaligus memastikan perlindungan sosial dan akses kesehatan yang layak bagi para pekerjanya. Peningkatan kualitas SDM disektor digital informal perlu dilakukan melalui program reskilling dan upskilling yang relevan dengan kebutuhan industri. Integrasi pelatihan ini menjadi kunci untuk menjawab ketimpangan keterampilan tenaga kerja digital dan mendorong formalisasi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Diskusi multipihak merekomendasikan penyusunan kerangka kebijakan pengembangan SDM digital informal yang mencakup :
1. Perlindungan Sosial Adaptif : Merancang skema perlindungan sosial yang sesuai dengan karakter informal dan fleksibel sektor digital, termasuk jaminan sosial berbasis kontribusi sukarela untuk pekerja digital informal. Head, Regional Public Affairs Grab dan Head of Economy Cluster & Senior Researcher The SMERU Research Institute memberikan gambaran bagaimana pendekatan yang dilakukan dalam konteks global. Pemerintah di Rwanda dan beberapa negara Asia Tenggara misalnya, berkolaborasi dengan platform untuk memastikan kemudahan SDM mengakses jaminan sosial dan menabung untuk masa pensiunnya, dengan skema subsidi yang proporsinya lebih besar diberikan oleh pemerintah.
2. Formalisasi Pengembangan Kapasitas SDM (Upskilling & Reskilling) : Mengembangkan program pelatihan berbasis kebutuhan industri melalui pendekatan modular dan mikro kredensial, agar pekerja digital informal dapat meningkatkan keterampilan secara fleksibel dan berkelanjutan. Chief Economist Prakerja juga menegaskan bahwa program pelatihan perlu didukung dengan ekosistem yang inklusif mengacu pada standar kompetensi, yaitu Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia dan Standar kompetensi khusus atau internasional.
3. Penguatan Ekosistem dan Segmentasi Pekerja Digital : Menyusun segmentasi pekerja/mitra dalam ekosistem digital informal untuk memahami kebutuhan spesifik setiap kelompok dan mendorong peningkatan daya saing, baik dari sisi pekerja/mitra, pengguna maupun platform. Mekanisme yang mengarah pada formalisasi dan tidak mengakomodasi kebutuhan spesifik pekerja digital, dapat berdampak pada ekonomi. Dalam paparan Direktur Ekonomi Digital CELIOS, sektor informal digital mewujudkan pemerataan ekonomi melalui pemberian kesempatan pekerjaan kepada seluruh masyarakat dan mengurangi pengangguran tetapi juga diperlukan pelatihan agar SDM sektor ini dapat berkembang dan bisa mendapatkan penghasilan yang fleksibel lebih dari satu sumber.
4. Kolaborasi
Multipihak yang Terlembagakan: Mendorong pembentukan mekanisme koordinasi lintas kementerian, pelaku industri, platform digital, dan lembaga pendidikan dalam kerangka kolaborasi jangka panjang yang berkelanjutan. Head, Programmes, Tech for Good Institute menyebutkan bahwa kolaborasi berkelanjutan perlu didukung dengan inovasi kebijakan yang prosesnya mengedepankan prinsip berbasis bukti, transparan, adaptif, partisipatif melibatkan pemangku kepentingan yang relevan, dan koheren sebagai fondasi untuk merancang kebijakan digital yang adil, inklusif, dan siap menghadapi masa depan. Sebagai hasil utama, simposium ini melahirkan Rencana Aksi Kemitraan Multipihak (RKTL) sebagai pedoman bersama dalam pengembangan SDM sektor digital informal untuk menghadapi peluang, tantangan dan perubahan pekerjaan masa depan.(chm)
Load more