Tarif tinggi dari AS, menurut Fahmi, menjadi pengingat bahwa dalam kompetisi global, kekuatan ekonomi adalah cermin dari kekuatan negara.
Dengan demikian, kebijakan ekonomi Indonesia ke depan harus didesain sebagai strategi geopolitik: bukan hanya untuk tumbuh, tapi untuk bertahan dan memimpin.
Diplomasi perdagangan pun harus diperkuat, tak hanya untuk membuka pasar, tetapi untuk menegosiasikan posisi Indonesia secara strategis dalam rantai nilai global.
“Prabowo tidak sedang bermaksud membangun ekonomi yang sekadar kompetitif secara pasar, melainkan ekonomi yang berdaulat secara strategis. Dari hilirisasi hingga digitalisasi, dari pertanian modern hingga penguatan industri pertahanan—semuanya adalah bagian dari sistem pertahanan nasional yang holistik. Visi ini memerlukan konsistensi, ketegasan birokrasi, dan dukungan kolektif dari seluruh elemen bangsa,” jelasnya.
“Sinergi antara kementerian ekonomi, pertahanan, luar negeri, dan BUMN harus dipercepat, agar kebijakan tidak berjalan dalam silo dan fragmentasi. Di tengah dunia yang makin saling bergantung, justru ketergantungan yang tidak seimbang akan menjadi kerentanan baru,” lanjutnya.(chm)
Load more