Perjuangan Ayah Penderita Polio Menghidupi Istri Celebral Palsy dan Buah Hatinya di Kebumen
- Tim tvOne - Wahyu Kurniawan
Kebumen, tvOnenews.com - Memiliki fisik yang terbatas, tidak jadi penghalang bagi seseorang menjadi sosok ayah dan suami yang bertanggungjawab sebagai penopang hidup keluarga, bagaimana pun keadaan dan keterbatasannya.
Seperti Suratmin (55), warga Dukuh Sarwodadi RT.02 RW.01 Desa Kemangguan, Kecamatan Alian, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Meski, hidup dengan keterbatasan fisik, tak mampu berdiri tegap karena sejak kecil menderita Polio, ayah dari Nadya Humaira Azzhara (4) semangat menjalani kehidupannya.
Saat ditemui dirumahnya, Ratmin sapaan akrabnya, terlihat sedang asyik bercanda dengan Huma, anak semata wayangnya. Meski tak mampu menggendong putri cantiknya, namun kecerian jelas nampak terlihat pada wajah Ratmin dan Huma.
Sesekali terdengar suara perempuan memanggil Ratmin dan Huma dari dalam.
"Itu istri saya, ibunya Huma," jawab Ratmin singkat kepada wartawan tvOnenews.com, Minggu (11/5/2025).
Foto: Keseharian Suratmin penderita polio yang mengurus istri penderita celebral palsy dan putrinya yang baru berusia empat tahun, Senin (12/5/2025). (Wahyu Kurniawan)
Ratmin menjelaskan Rusdiantari (32) istrinya juga merupakan kaum disabilitas. Namun, saat ini hanya bisa terbaring di tempat tidur. Ia di diagnosa menderita Celebral Palsy (CP). Sejak melahirkan Huma secara caesar, Tari kehilangan fungsi motorik otot dibagian kaki.
"Dulu aktifitas di luar rumah masih bisa pake kursi roda, kalau di rumah juga masih bisa gerak (ngesot) ke kamar mandi, ruang tamu. Tapi pasca operasi caesar setelah lahiran Huma, kemampuan bergerak dari perut ke bawah (kaki) hilang," ungkapnya.
Sejak kecil hingga dewasa Tari istri Ratmin mengira dirinya menderita Polio. Namun, setelah operasi melahirkan Huma, dokter mengatakan bahwa dirinya menderita cerebral palsy (CP).
Ratmin mengatakan, meski dirinya seorang disabilitas akibat polio, ia adalah ayah dan suami yang bertanggungjawab mengurus keluarga. Kepada tvOnenews.com Ratmin menceritakan awal mula dirinya menjadi seorang disabilitas daksa akibat polio.
"Saat umur 1 tahun, saya demam tinggi mas. Sempat dibawa berobat ke mantri, namun tak lama berselang kedua kakinya malah lemas dan tak bisa berjalan," ucap Ratmin menceritakan.
Kini, dengan keahliannya menjahit, Ratmin menghidupi istri dan satu anaknya. Ia tak hanya memiliki tanggung jawab sebagai ayah namun juga suami yang memiliki istri menderita kelumpuhan permanen, yang hanya bisa terbaring di tempat tidur.
"Tak hanya Huma, segala keperluan istri saya yang nyiapin mas," lanjutnya.
"Ya begini ini mas, sekarang aktifitas saya cuma bisa terbaring di kasur. Makan saya, mandi, semua bapak (Ratmin) yang ngurus. Perut ke bawah sampai kaki udah gak bisa berfungsi. Gak lemes, tapi kaku kayak kayu gak bisa digerakin ini," saut Tari.
Tari pun bercerita semakin hari kondisinya semakin memburuk. Terlebih lagi dirinya saat ini memiliki anak kecil yang begitu membutuhkan kasih sayang orangtuanya.
"Mikir anak masih kecil, kan umur nggak tahu ya mas, aku dulu apa bapak dulu. Kalau aku dulu anakku sama siapa, kalau bapak dulu, aku sama sapa dan anakku siapa yang ngurus. Itu yang selalu jadi pikiran, saya bingung," ungkap Tari.
Tari mengaku, sejak melahirkan Huma, ia tidak bisa merawat anak layaknya seorang ibu. Kondisi tubuhnya yang di vonis dokter menderita celebral palsy atau lumpuh di badan bagian bawah membuat dirinya tak bisa memegang anaknya.
"Kondisi tubuh saya, dari perut ke bawah mati, kaki saya ini kaku gak bisa digerakin. Sempat nangis mas, menangis gak bisa megang anak saya seperti layaknya seorang ibu," kata Tari.
Kini, jelas Tari, semua kebutuhan dan keperluan dirinya dilakukan dan dikerjakan oleh sang suami. Bagi Tari, sang suami satu-satunya orang yang menguatkan kegundahan dirinya.
Dengan ikhlas, Ratmin yang juga punya gerak terbatas harus membagi waktu dan tenaganya untuk merawat Tari dan sang buah hati yang baru berusia empat tahun.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Ratmin mengandalkan upah dari jasanya sebagai penjahit. Dengan ongkos Rp100 ribu untuk satu pasang baju, ia merasa bersyukur meski rupiah yang didapatnya tidak pasti.
Apalagi Ratmin harus menanggung biaya kebutuhan susu dan popok yang menguras kantong karena bukan untuk Huma semata melainkan juga popok sekali pakai untuk istrinya.
"Sepahit apapun kehidupan saya mas, gak saya perlihatkan sama orang, ya batin sendiri yang penting kelihatan semangat. Meski capek nggak terasa capek udah biasa. Karena saya punya tanggungjawab sama anak istri jadi ya walaupun capek, melihat anak istri senang ikut senang jadi hilang seketika," ujar Ratmin tersenyum.
"Kuncinya, saya sama bapak ya mas, dalam menghadapi semua ini tidak pernah menganggap bahwa kami ini orang cacat. Kami menganggap bahwa saya sama bapak ini orang normal, gitu aja mas," saut Tari sembari ikut tersenyum.
Bagi Suratmin dan Tari, sesulit apapun kehidupan mereka sebagai keluarga harus saling menopang. Mereka menganggap beban hidup akan menjadi jauh lebih ringan, jika dihadapi bersama. (wkn/buz)
Load more