Jakarta, tvOnenews.com - Sejumlah wilayah di Sumatera bagian utara mengalami bencana hidrometeorologi berupa banjir, banjir bandang, dan tanah longsor dalam beberapa hari terakhir.
Bencana bertubi-tubi ini diduga dipicu Siklon tropis Senyar yang terbentuk di perairan dekat Aceh.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa bibit siklon 95B terdeteksi sejak 21 November 2025 di sebelah timur Aceh.
Delapan hari sebelum bencana, peringatan dini telah dikeluarkan. Bibit tersebut kemudian berkembang menjadi siklon tropis Senyar, bergerak dari Selat Malaka menuju daratan Sumatera bagian utara dan melintasi Aceh.
Siklon ini tidak hanya memicu angin kencang, tetapi juga meningkatkan suplai uap air di Selat Malaka dan membentuk awan konvektif masif, menghasilkan hujan ekstrem yang berlangsung selama berhari-hari.
Akibatnya, intensitas curah hujan di wilayah Aceh hingga Sumatera Barat meningkat dari kategori sangat lebat hingga ekstrem.
Menurut BMKG, Senyar menjadi pemicu hujan ekstrem pada 25–27 November 2025 di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Fenomena ini dinilai tidak lazim karena Indonesia berada dekat garis ekuator, lokasi yang secara teori tidak mendukung terbentuknya siklon tropis.
Namun dalam lima tahun terakhir, beberapa siklon tercatat mendekati wilayah Indonesia, menunjukkan adanya anomali meteorologis.
Pakar meteorologi menyebut kejadian ini mengejutkan banyak pihak di dalam maupun luar negeri. Dua hal yang dinilai hampir mustahil terjadi adalah terbentuknya siklon di wilayah yang sangat dekat dengan ekuator, dan posisi pusat siklon yang terdeteksi hanya di 4° Lintang Utara. Sebelumnya, siklon tropis FAME pada 2001 disebut sebagai fenomena 100–400 tahun sekali.
Meskipun Senyar berada pada kategori satu atau level terendah, dampak di lapangan sangat signifikan. BMKG mencatat tren bencana hidrometeorologi di Indonesia meningkat dalam 16 tahun terakhir.
Siklon Senyar memberikan lima dampak meteorologis utama:
BMKG juga memperingatkan adanya potensi bibit siklon tropis baru di selatan Indonesia seiring puncak musim hujan Desember–Februari.
Daerah yang berisiko meliputi Bengkulu, Sumatera Barat bagian selatan, pesisir selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara, hingga Papua bagian selatan.
Selain faktor meteorologi, para ahli menyoroti kerusakan lingkungan yang terus berulang sebagai salah satu penyebab dampak bencana menjadi lebih parah.
Komitmen pelestarian lingkungan dinilai mendesak untuk mencegah bencana serupa terulang.