Normalisasi dengan Zionis adalah Pengkhianatan, Armada Global Sumud Flotilla Jawab dengan Solidaritas Lautan
- Istimewa
Oleh: Rana Setiawan, Jurnalis, Pemerhati Permasalahan Palestina
Disclaimer: Artikel ini telah melalui proses editing yang dipandang perlu sesuai kebijakan redaksi tvOnenews.com. Namun demikian, seluruh isi dan materi artikel opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
“We see you. We hear you. We feel your pain. We will not be spectators (Kami melihatmu, kami mendengarmu. kami merasakan penderitaanmu wahai rakyat Palestina di Gaza. Kami tidak akan menjadi bagian dari para pengkhianat).”
Kalimat itu meluncur dari mulut Mohamed Abdulla, delegasi Global Sumud Flotilla asal negara Teluk, saat kapal-kapal solidaritas berkumpul di pelabuhan Tunisia, Senin (15/9/2025).
Ucapan singkat itu merangkum pesan moral misi kemanusiaan terbesar melalui jalur laut itu, bukan sekadar mengirim bantuan, melainkan menolak kebisuan dunia, termasuk dari pemerintahan yang menormalisasi hubungan dengan penjajah Zionis Israel.
Armada Global Sumud Flotilla bukan hanya upaya logistik. Ia adalah panggilan etis, di mana solidaritas rakyat melawan kebijakan yang dilihat banyak orang sebagai pengkhianatan terhadap prinsip dasar kemanusiaan.
Normalisasi Legitimasi yang Dipertanyakan
Sejak 2020 sejumlah negara Arab menandatangani perjanjian normalisasi hubungan (Abraham Accords) dengan Israel.
Bagi penguasa, itu pintu ekonomi dan keamanan; bagi banyak rakyat di kawasan—termasuk aktivis, intelektual, dan relawan, itu adalah langkah yang mengkhianati dasar solidaritas regional.
Delegasi dari kawasan Teluk, seperti Abdulla, menegaskan pandangan publik yang muncul di jalan-jalan, yang menaruh tangan pada entitas yang dituduh melakukan pelanggaran berat merupakan pengkhianatan moral.
Analisis ekonomi memang menunjukkan kenaikan hubungan dagang antara Israel dan beberapa negara yang menormalisasi.
Namun isu yang diangkat aktivis bukan sekadar angka perdagangan, melainkan soal legitimasi politik bagi praktik yang dianggap menindas rakyat Palestina.
Kritik tersebut semakin kuat karena, sementara perjanjian berlangsung, situasi kemanusiaan di Gaza memburuk dramatis. Data kemanusiaan terakhir menegaskan urgensi misi laut ini.
Pada 22 Agustus 2025, badan pangan internasional secara resmi menyatakan kondisi kelaparan di wilayah Gaza, dengan sebagian besar penduduk menghadapi kelaparan yang dipicu oleh pembatasan akses bantuan kebutuhan dasar atau bahan pokok dan hancurnya infrastruktur vital.
Pernyataan bersama dari badan PBB terkait makanan dan kesehatan memperingatkan bahwa kondisi ini dapat meluas dan meningkatkan angka kematian bila akses bantuan kemanusiaan tidak segera membaik.
Dalam konteks itu, alasan para relawan berlayar dengan membawa makanan, obat, dan logistik, menjadi jelas bahwa jalur laut dipandang sebagai satu-satunya alternatif untuk menyalurkan bantuan langsung, karena akses darat dan udara dikontrol ketat.
Upaya solidaritas ini tidak tanpa risiko. Dalam beberapa hari persiapan di Tunisia, flotilla menghadapi dua insiden yang sangat serius: kapal yang sedang bersandar dilaporkan diserang dengan perangkat nirawak atau drone yang menimbulkan kebakaran pada dek.
Organisasi flotilla dan beberapa pengamat menyatakan video dan bukti awal menunjukkan penggunaan drone tanpa lampu yang menjatuhkan perangkat pembakar, dugaan yang diperkuat oleh pernyataan Pelapor Khusus PBB Francesca Albanese yang menelaah bukti visual.
Laporan-laporan internasional mengabarkan kedua insiden itu dan menyebut masih berlangsungnya investigasi; otoritas Tunisia sendiri menyatakan akan menyelidiki.
Lebih jauh, tuduhan-tuduhan politis kini mengemuka di panggung regional.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan mengecam keras apa yang disebutnya sebagai “penargetan kapal sipil” dan memperingatkan bahwa serangan semacam itu, jika dikonfirmasi sebagai tindakan tertentu negara, mendorong konflik melampaui titik lokal menjadi ancaman keamanan kawasan.
Tuduhan tingkat tinggi seperti ini menambah tekanan diplomatik pada insiden yang sedang diselidiki.
Jejak Normalisasi dan Reaksi Publik
Normalisasi antara Israel dan beberapa negara Arab membawa dampak nyata dalam hubungan dagang dan diplomasi.
Misalnya, perdagangan bilateral meningkat secara signifikan antara beberapa negara yang menormalisasi dan Israel sejak 2020, sebuah fakta yang digunakan pendukung normalisasi untuk menjustifikasi perjanjian itu sebagai pragmatis.
Namun para kritikus menekankan bahwa kenaikan perdagangan tidak menebus konsekuensi etis ketika populasi Palestina menderita, dan bahwa perjanjian itu memberi ruang legitimasi politik yang menguatkan tindakan kontroversial di lapangan.
Di sisi publik, jurang antara kebijakan elit dengan persepsi rakyat semakin lebar: protes massal di berbagai kota Arab, gelombang solidaritas lintas negara, serta inisiatif warga (seperti sumbangan kapal oleh warga Tunisia) menunjukkan bahwa dukungan publik seringkali berseberangan dengan langkah-langkah pemerintah yang memilih normalisasi.
Armada Global Sumud Respons Moral dan Praktis
Armada ini, terdiri ratusan relawan, puluhan kapal dari berbagai negara, setidaknya mewakili 44 negara, salah satunya Indonesia, adalah manifestasi bahwa bagian signifikan masyarakat global ingin menegakkan hak asasi yang praktis: makanan, obat, dan koridor aman.
Selain fungsi logistik, keberadaan flotilla juga memiliki fungsi simbolik: membentuk tekanan opini internasional, merekam kejadian di laut oleh tim legal independen, dan menegaskan klaim bahwa tindakan yang menghalangi bantuan dapat dipantau dan didokumentasikan.
Di antara unit yang ikut mendampingi adalah tim hukum independen (ILSB) yang secara terbuka menyatakan tugasnya: memantau, mengkronikkan posisi hukum internasional yang relevan, dan mengamankan bukti bila terjadi pelanggaran.
Keberadaan observatorium semacam ini mempertegas tujuan misi tidak sekadar provokatif, tetapi juga berbasis aturan hukum internasional.
Pilihan moral di Hadapan Sejarah
Pernyataan Mohamed Abdulla: “We will not be spectators (Kami tidak akan menjadi bagian dari para pengkhianat)”, adalah panggilan kepada warga dan pemerintah: pilih berada di sisi kemanusiaan atau menanggung beban sejarah yang menganggap normalisasi sebagai pengkhianatan.
Bagi banyak aktivis, aksi di laut adalah upaya untuk menyeimbangkan neraca moral, ketika negara-negara menandatangani perjanjian yang memberi ruang politik bagi tindakan represif, gerakan rakyat menjawab dengan solidaritas langsung.
Tantangan nyata tetap ada: eskalasi militer regional, ancaman terhadap kapal, kebutuhan logistik besar, hingga risiko politisasi bantuan.
Namun bila dunia menuntut legitimasi dan supremasi hukum, maka menutup mata terhadap kelaparan yang terkukuh oleh blokade bukanlah pilihan yang dapat dipertahankan.
Armada Global Sumud berlayar bukan untuk meredakan politik, melainkan untuk menegakkan kemanusiaan.
Ketika pemerintah memilih meja perundingan yang dinilai banyak pihak mengorbankan martabat dan keselamatan rakyat Palestina, suara rakyat dari dek kapal-kapal kecil di Laut Mediterania memilih tindakan nyata,yakni mengirim bantuan, merekam pelanggaran, dan menuntut akuntabilitas.
Jika normalisasi adalah perjanjian antar-elit, dengan manfaat ekonomis yang nyata, maka flotilla ini menegaskan sisi lain: hak hidup, martabat, dan akses bantuan harus ditempatkan di atas keuntungan diplomatik.
Sebab pada akhirnya, sejarah akan mengingat siapa yang memilih berdiri bersama kemanusiaan dan hati nurasi sebagai manusia yang adil dan beradab.
Load more