Apalagi terbayang betapa sulitnya mendapatkan nomor dada (BIB) Boston Marathon. Saya yang tak beruntung mendapatkan slot undian harus berjuang jauh lebih mahal lewat jalur amal atau charity. Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, saya harus merelakan diri merayakan Hari Idul Fitri di ribuan kilometer dari tanah air, berada dalam pesawat dengan ketinggian 40 ribu kaki dari tanah.
Namun, penutup agaknya ditakdirkan selalu tak pernah mudah. Boston Marathon jelas bukan marathon gold label seperti Gold Coast Marathon yang 60 persen pesertanya bisa mencatatkan waktu terbaiknya. Sebuah data menyebutkan tren waktu penyelesaian rata rata peserta di Boston Marathon cenderung lebih lambat setiap tahunnya. Kini data terbaru rata rata peserta membutuhkan waktu minimal hingga 4 jam untuk menyelesaikan lomba.
Di Boston, harus diakui, kuat saja tak cukup, tapi juga harus cerdas. Saya sebenarnya telah mengatur strategi berlari, lebih baik dari marathon-marathon sebelumnya. Tiba lebih awal, saya cukup punya waktu untuk meriset jalur yang akan saya jalani. Saya membuat catatan kecil: tak boleh berlari terlalu cepat pada 20 kilometer pertama saat rute didominasi jalanan menurun dan mendatar, saya harus mengatur langkah kecil kecil melewati 20 kilometer selanjutnya yang banyak menembus hutan dan bukit-bukit, saya mungkin akan dapat suntikan semangat saat melewati Wellesley College, dan lain lain.
Namun, catatan tetap rencana diatas kertas. Meski jalanan telah dibuat steril 100 persen, namun bukit-bukit “gila” seperti terus bermunculan justru saat karbohidrat semakin tandas. Puncaknya adalah “ancaman” kram di Heartbreak Hill. Saat itulah pelari hanya berhadapan dengan dirinya. To be or not to be. Saya memilih bertahan sebisanya. Menjaga kordinasi antara pikiran dan kordinasi tubuh.
Setelah melewati kilometer 33 semuanya terasa lebih baik. Saya merasa tonggak itu telah saya lewati. Saya kembali menemukan ritme saya. Saya mengatur nafas perlahan, menghirup dan menghembuskannya dengan teratur. Tak lama di kejauhan saya mulai melihat garis berwarna kuning biru yang sakral itu terbentang membelah lintasan, garis penanda finish itu semakin lama kian dekat dan perjalanan panjang 6 tahun penuh warna pun terbayar tunai: saya menggondol medali Enam Bintang. (Ecep Suwardaniyasa Muslimin)
Load more