Boston Marathon adalah hari raya bagi pelari: ada suka cita, kegembiraan, haru biru bagi jutaan pelari saat di garis finish dan atau warga di rumah yang menyaksikan lomba. Seperti koor, warga dunia mengutuk ramai-ramai tindakan teror yang mencederai kegembiraan yang telah berumur hampir lebih 116 tahun (pada 2013 ketika bom meledak).
"Sesuatu yang seharusnya murni sudah dicemari, dan saya --juga sebagai warga dunia yang menyebut diri pelari -- ikut terluka,” ujar Haruki Murakami, novelis Jepang yang pernah tinggal di pinggiran Boston selama tiga tahun.
Saya berlari sambil mengenang korban korban yang berjatuhan saat itu. Kesakitan saya saat melewati pendakian bukit di bagian akhir jalur marathon, ketika sekuat tenaga berusaha menaklukkan bukit Heartbreak adalah juga kesakitan Bill Iffrig, pria berusia 78 tahun asal Washington, Amerika Serikat. Ia terlempar dan ambruk tiba-tiba saat tubuhnya terhempas oleh ledakan bom yang berjarak lima tangkah dari dirinya.
Iya, saya berlari sambil membayangkan Iffrig yang kita tahu bangkit dan kembali meneruskan larinya hingga mencapai garis akhir dan menyelesaikan pertarungan dengan dirinya secara gagah. Ia bahkan jadi nomor dua tercepat mencapai garis finish pada kategori usianya. Bom tak menaklukannya.
Sementara saya yang tak mengalami apapun, seharusnya lebih baik, selalu lebih baik. Harus selalu lebih baik. Begitu afirmasi saya ketika tubuh melemah, ayunan kaki tak bertenaga.
Boston Marathon adalah penutup dari perjalanan panjang sejarah hidup saya. Enam tahun yang penuh warna. Ini pertaruhan terakhir saya dalam menyelesaikan rangkaian Word Marathon Major (WMM) yang telah saya mulai sejak Berlin Marathon (2018), Chicago Marathon (2019), London Marathon (2022), Tokyo Marathon (2023), hingga New York Marathon (2023). Sejarah ini harus saya tuntaskan pada Boston Marathon (2024).
Load more