“SAYA tak bisa membayangkan musim semi di Boston tanpa marathon,” kata lelaki itu sambil meletakan sejumlah karbohidrat pesanan kami di meja. Ia seorang pelayan yang antusias dan spontan pada semua pengunjung.
Saya lupa namanya yang disebut dengan sangat tergesa. Namun, di restoran di kawasan down town yang sejuk, dengan pohon-pohon besar dan selasar pejalan kaki yang lebar di sekitar Quincy Market, semua orang seperti sahabat lama.
Kami seketika akrab, barangkali karena saya mengenakan jaket Boston Marathon 2024 yang dirilis panitia saat expo berlangsung. “Saya akan jadi marshal pada lomba nanti,” ia kembali antusias menceritakan pengalamannya menjadi relawan untuk gelaran tahunan yang agaknya disikapi seperti layaknya lebaran oleh warga kota Boston.
Percakapan singkat itu membuat saya paham kenapa Boston Marathon jadi salah satu ajang lari jarak jauh terbaik di dunia: inisiatif warga.
Lomba lari tertua di dunia ini memang seperti digelar oleh seluruh warga kota tanpa kecuali. Saya merasakan, benar-benar sebuah marathon yang dimulai dari bawah (bottom up), bukan sesuatu yang digelar dari atas (top down). Saya merasakan antusiasme kerelawanan warga seperti tumbuh bersama pada ajang ini.
Boston Marathon memang bertaut dengan sejarah kotanya. Digelar setiap libur hari Pahlawan di Senin ketiga di bulan April, lomba dikaitkan dengan penghormatan pada 26 orang yang tewas akibat penembakan di sebuah sekolah di Newtown, Connecticut.
Tak heran seperti ada yang mengomando, seluruh warga akan keluar rumah pada momen bersejarah itu. Tak hanya warga di kota-kota besar yang padat, tetapi juga kota-kota kecil dengan perbukitan dan rumah-rumah berhalaman luas di daerah perbukitan, mulai dari Hopkinton, Ashland, Framingham, Natick, Wellesley, Newton, Brookline dan Boston.
Mereka mendukung pelari dari berbagai bangsa itu sebisanya. Dari berteriak menyoraki pelari, memberikan panganan kecil atau buah-buahan dari kebun di depan rumah. Saat menuruni bukit pada sebuah taman saya melihat barisan panjang lelaki dan perempuan (sebagian sambil duduk) menabuh berbarengan snare drum, drum bass, timpani, tom tom, djembe dengan serempak. Bebunyian yang diaransemen khusus seperti memandu kaki saya dan puluhan ribu pelari lainnya agar bergerak seirama, konsisten. Sungguh ikhtiar jitu menghilangkan rasa lelah para pelari saat menghadapi turunan dan tanjakan terjal di antara bukit-bukit Boston.
Ada ratusan petugas marshal menjaga rute lari sepanjang 42 kilometer, sejak persiapan pelari menuju titik-titik stars (yang dibagi dalam zona zona), hingga lokasi pengambilan medali. Sayang saya tak bertemu lagi dengan perempuan muda yang kabarnya jadi salah satu marshal di sepanjang rute Boston Marathon ke 128 tahun ini. Tapi ada ratusan marshal di sini dan saya tengah terengah engah menaklukan jalur yang mirip trail run tapi digelar di jalan aspal itu.
Dijuluki sebagai salah satu marathon dunia paling sulit, karena medan yang penuh elevasi dan cuaca kerap tak menentu, entah kenapa banyak pelari selalu ingin kembali mengulang berlari di Boston Marathon. Haruki Murakami misalnya mengikuti ajang ini hingga enam kali. Banyak pelari dari tanah air, misalnya saya tahu, seperti terpanggil untuk selalu mengulangi lagi menaklukan alam Boston.
Begitulah, berlari di Boston Marathon sekaligus menamatkan Enam Bintang saya di pekan lalu, saya merasakan Boston telah pulih. Tak ada lagi jejak-jejak ketakutan ketika bom pernah meluluhlantakan lintasan, mencerai beraikan pelari tak jauh dari garis finish sepuluh tahun lalu.
Dari video di media sosial mudah kita lacak, gambar gambar ratusan pelari seketika kocar kacir ketika dentuman pertama meledak. Berselang 14 detik, dentuman berikutnya terdengar memecah mimpi pelari menyelesaikan lomba meski finish sudah di depan mata. Ada tiga penonton ajang lari itu yang tewas di tempat, ratusan lainnya luka luka. Tsarnaev Bersaudara, dua kakak beradik pelaku yang meletakan bom di dekat garis finish agaknya tahu marathon telah jadi bahasa universal warga dunia sehingga merencanakan teror di ajang itu.
Boston Marathon adalah hari raya bagi pelari: ada suka cita, kegembiraan, haru biru bagi jutaan pelari saat di garis finish dan atau warga di rumah yang menyaksikan lomba. Seperti koor, warga dunia mengutuk ramai-ramai tindakan teror yang mencederai kegembiraan yang telah berumur hampir lebih 116 tahun (pada 2013 ketika bom meledak).
"Sesuatu yang seharusnya murni sudah dicemari, dan saya --juga sebagai warga dunia yang menyebut diri pelari -- ikut terluka,” ujar Haruki Murakami, novelis Jepang yang pernah tinggal di pinggiran Boston selama tiga tahun.
Saya berlari sambil mengenang korban korban yang berjatuhan saat itu. Kesakitan saya saat melewati pendakian bukit di bagian akhir jalur marathon, ketika sekuat tenaga berusaha menaklukkan bukit Heartbreak adalah juga kesakitan Bill Iffrig, pria berusia 78 tahun asal Washington, Amerika Serikat. Ia terlempar dan ambruk tiba-tiba saat tubuhnya terhempas oleh ledakan bom yang berjarak lima tangkah dari dirinya.
Iya, saya berlari sambil membayangkan Iffrig yang kita tahu bangkit dan kembali meneruskan larinya hingga mencapai garis akhir dan menyelesaikan pertarungan dengan dirinya secara gagah. Ia bahkan jadi nomor dua tercepat mencapai garis finish pada kategori usianya. Bom tak menaklukannya.
Sementara saya yang tak mengalami apapun, seharusnya lebih baik, selalu lebih baik. Harus selalu lebih baik. Begitu afirmasi saya ketika tubuh melemah, ayunan kaki tak bertenaga.
Boston Marathon adalah penutup dari perjalanan panjang sejarah hidup saya. Enam tahun yang penuh warna. Ini pertaruhan terakhir saya dalam menyelesaikan rangkaian Word Marathon Major (WMM) yang telah saya mulai sejak Berlin Marathon (2018), Chicago Marathon (2019), London Marathon (2022), Tokyo Marathon (2023), hingga New York Marathon (2023). Sejarah ini harus saya tuntaskan pada Boston Marathon (2024).
Apalagi terbayang betapa sulitnya mendapatkan nomor dada (BIB) Boston Marathon. Saya yang tak beruntung mendapatkan slot undian harus berjuang jauh lebih mahal lewat jalur amal atau charity. Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, saya harus merelakan diri merayakan Hari Idul Fitri di ribuan kilometer dari tanah air, berada dalam pesawat dengan ketinggian 40 ribu kaki dari tanah.
Namun, penutup agaknya ditakdirkan selalu tak pernah mudah. Boston Marathon jelas bukan marathon gold label seperti Gold Coast Marathon yang 60 persen pesertanya bisa mencatatkan waktu terbaiknya. Sebuah data menyebutkan tren waktu penyelesaian rata rata peserta di Boston Marathon cenderung lebih lambat setiap tahunnya. Kini data terbaru rata rata peserta membutuhkan waktu minimal hingga 4 jam untuk menyelesaikan lomba.
Di Boston, harus diakui, kuat saja tak cukup, tapi juga harus cerdas. Saya sebenarnya telah mengatur strategi berlari, lebih baik dari marathon-marathon sebelumnya. Tiba lebih awal, saya cukup punya waktu untuk meriset jalur yang akan saya jalani. Saya membuat catatan kecil: tak boleh berlari terlalu cepat pada 20 kilometer pertama saat rute didominasi jalanan menurun dan mendatar, saya harus mengatur langkah kecil kecil melewati 20 kilometer selanjutnya yang banyak menembus hutan dan bukit-bukit, saya mungkin akan dapat suntikan semangat saat melewati Wellesley College, dan lain lain.
Namun, catatan tetap rencana diatas kertas. Meski jalanan telah dibuat steril 100 persen, namun bukit-bukit “gila” seperti terus bermunculan justru saat karbohidrat semakin tandas. Puncaknya adalah “ancaman” kram di Heartbreak Hill. Saat itulah pelari hanya berhadapan dengan dirinya. To be or not to be. Saya memilih bertahan sebisanya. Menjaga kordinasi antara pikiran dan kordinasi tubuh.
Setelah melewati kilometer 33 semuanya terasa lebih baik. Saya merasa tonggak itu telah saya lewati. Saya kembali menemukan ritme saya. Saya mengatur nafas perlahan, menghirup dan menghembuskannya dengan teratur. Tak lama di kejauhan saya mulai melihat garis berwarna kuning biru yang sakral itu terbentang membelah lintasan, garis penanda finish itu semakin lama kian dekat dan perjalanan panjang 6 tahun penuh warna pun terbayar tunai: saya menggondol medali Enam Bintang. (Ecep Suwardaniyasa Muslimin)
Load more