Pemerintah misalnya kerap menggunakan data GDP di suatu waktu, tapi di saat lain menggunakan data pertumbuhan ekonomi untuk membicarakan hal yang sama: kesejahteraan. Data mana yang benar-benar merepresentasikan kesejahteraan?
Agaknya kita perlu mendengar peluit peringatan yang disampaikan ekonom terbaik kita saat ini yang pemikirannya selalu cemerlang, Chatib Basri, ihwal generasi emas kita terancam tua sebelum kaya.
Sebabnya, dalam analisa Chatib, pertumbuhan di kisaran 5 persen dalam sepuluh tahun Pemerintahan Jokowi sangat tidak cukup melepaskan Indonesia dari jebakan negara dengan pendapatan menengah (middle income trap).
Kajian Bappenas menyebut untuk keluar dari jebakan pendapatan menengah pertumbuhan ekonomi harus dipacu 6-7 persen.
Mestinya kita tidak lagi meninabobokan diri dengan menyebut capaian medioker ini lebih baik dari negara serumpun, toh kita “salah satu yang terbaik di Asia Tenggara” atau “dalam tekanan ekonomi global, kita masih bisa tumbuh,” karena dengan bonus demografi (yang selalu ditekankan oleh salah satu kandidat) kita mestinya bisa tumbuh lebih tinggi.
Karena sejatinya kita tengah berpacu dengan waktu. Dipastikan setelah 2050 Indonesia memasuki era penduduk usia lanjut. Ketika saat itu tiba, rasio produktivitas menurun, pajak tak bisa ditarik lagi, sementara kebutuhan subsidi kesehatan dan pensiun meningkat.
Tidak bisa tidak, momok yang dulu dikhawatirkan akan terjadi: generasi emas yang disebut dalam debat sebagai bonus demografi hanya akan mengalami tua sebelum kaya.
Load more