Skor data PISA Indonesia cenderung stagnan, bahkan masih jauh di bawah rata-rata negara ASEAN serta negara Organisasi Kerja Sama dan Pembangun Ekonomi (OECD).
(Ilustrasi - Aktivitas belajar mengajar siswa di NTT. Sumber: ANTARA)
Meski belanja pendidikan terus meningkat tajam, pada 2018 lalu, misalnya, PISA mengetes sejumlah siswa berusia 15 tahun yang dipilih secara acak di masing-masing negara untuk mengikuti tes dari tiga kompetensi dasar yaitu membaca, matematika dan sains.
Hasilnya untuk kemampuan membaca, skor siswa Indonesia mencapai 371 berada di bawah skor rata-rata negara OECD yakni sebesar 487. Berdasarkan data Bank Dunia, kualitas pendidikan kita bahkan masih kalah dari Vietnam, negeri yang pada 1970-an saja masih berperang dengan Amerika Serikat.
Saya termasuk generasi yang mengalami sekolah yang tak selamanya menyenangkan di era Orde Baru. Ada masa saya merasa sekolah sebagai tempat yang mengasingkan. Terutama saat saya beranjak remaja dan kepala mulai dipenuhi gugatan pada apapun yang tadinya saya terima begitu saja.
Saya merasa sekolah terlalu mekanis, teknis dan penuh dengan kewajiban hapalan hapalan semata.
Misalnya saat belajar ilmu hitung saya hanya harus menghafal 6x6 adalah 36, tanpa ada pertanyaan mengapa saya harus mempelajari itu semua. Tak ada guru yang menjelaskan, kenapa harus belajar ilmu hitung? Kini memang saya bisa menjawab bahwa belajar matematika agar kita bisa berbahasa dengan logis dan teratur, namun pada usia akil baliq, saya tentu sulit menemukan jawaban semacam itu.
Pendeknya, saya mengalami situasi guru adalah sumber pengetahuan dan murid adalah bejana bejana kosong yang harus diisi. Pendidikan dipahami hanya seperti kegiatan menabung saja: murid adalah celengan, sementara guru pihak yang menabung. Tak ada proses komunikasi, guru hanya menyampaikan pernyataan pernyataan untuk mengisi “tabungan” yang harus dihafal dan diulangi siswa.
Load more