Jakarta - Menteri Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (MenPPPA) I Gusti Ayu Bintang Puspayoga mengatakan bahwa Indonesia darurat perkawinan anak.
Bintang Puspayoga mengatakan bahwa Indonesia darurat perkawinan anak. Atas kedaruratan kondisi perkawinan anak tersebut, Bintang menyebut bahwa pihaknya bekerja sama dengan PUSKAPA (Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak) Universitas Indonesia, Ikatan PIMTI Perempuan Indonesia dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
"Bekerja sama menyusun risalah kebijakan pencegahan perkawinan anak untuk perlindungan berkelanjutan bagi anak," kata Bintang, Minggu (29/1/2023).
Bintang mengatakan, hasil dari kajian ini telah dibahas dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan di kantor KemenPPPA pada Kamis (26/1/2023).
Sementara itu, Andrea Andjaringtyas dari PUSKAPA-UI menjelaskan bahwa kajian dilakukan dengan melakukan analisa terhadap 225 putusan dispensasi perkawinan dari Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agama dalam kurun waktu 2020 – 2022. Serta dari hasil konsultasi terpimpin atau Focus Group Discussion dan kajian literature 40 publikasi ilmiah.
"Hasilnya, 1/3 dari 225 hasil putusan dispensasi diajukan karena sudah hamil terlebih dahulu," jelas Andrea.
Lebih lanjut, dia mengatakan, dari hasil kajiannya, dirinya menemukan hasil bahwa diizinkannya permohonan perkawinan anak lantaran anak perempuan tersebut telah mengandung anak.
"Puskapa UI melakukan kajian cepat untuk menguraikan masalah masih adanya dispensasi perkawinan dan dikabulkannya dispensasi kawin karena faktor anaknya sudah hamil terlebih dahulu," papar dia.
"Dari 225 putusan, sebanyak 34% dikarenakan faktor kehamilan," sambungnya.
Andrea menjelaskan, ada 4 masalah yang melatarbelakangi kehamilan anak yang akhirnya mendorong perkawinan anak.
Pertama, kesulitan hidup di keluarga rentan dan tidak memiliki kapasitas pengasuhan yang baik;
Kedua, anak tidak mendapat dukungan positif dari keluarga, komunitas dan kelompok sebaya;
Ketiga, anak tidak memilki kemampuan untuk menimbang risiko kehamilan; dan Keempat, anak memandang perkawinan sebagai cara untuk menikmati masa remaja.
"PUSKAPA-UI memandang perlu diupayakan pencegahan oleh pemerintah untuk mengambil langkah, seperti meningkatkan kapasitas pengasuhan dan akses layanan, mengembangkan kemampuan anak, membuka dan menyetarakan akses, memperkuat ikatan sosial keluarga, menyusun kebijakan kesehatan fisik (termasuk reproduksi) dan mental, dukungan pengasuhan, pencapaian pendidikan formal 12 tahun dan pemberdayaan untuk penghidupan," papar Andrea.
Sementara itu, Profesor Emil Salim, anggota Dewan pengarah BRIN mengungkapkan, upaya mencapai Indonesia Emas tahun 2045 sulit dicapai jika usia anak sudah menikah.
“Pola pikir kita harus fokus membangun bangsa yang berkualitas yang memiliki ilmu, paham science dan teknologi sehingga anak-anak harus menempuh pendidikan tinggi. Maka non-diskiriminasi perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan harus dihapuskan," terangnya.
Di lain pihak, lanjut Emil, penghulu harus diinformasikan kalau anak-anak di bawah 19 tahun tidak boleh menikah. Koreksi terhadap penghulu harus diberikan.
"Perkawinan adalah membentuk satuan keluarga sebagai bagian dari masyarakat. Jika keluarga tidak terdidik maka masyarakat jadi tidak terdidik,” tegasnya. (rpi/ebs)
Load more