Jelang Muktamar ke-35 NU dan Harapan Baru Para Nahdliyin
- ANTARA
Dukungan dari struktur PBNU saat ini serta dari kalangan pesantren memperkuat posisinya. Ia juga memiliki kedekatan politik dengan sejumlah partai, termasuk PKB, meskipun kedekatan itu lebih bersifat kultural dibanding politis.
Hal yang menarik adalah Zulfa tidak datang membawa jejaring struktural negara atau mesin politik elektoral, melainkan kekuatan moral dan intelektual yang selama ini menjadi ruh NU.
Pertanyaannya, apakah kepemimpinan kultural murni mampu berdiri kokoh di tengah kompleksitas hubungan antara agama, negara, dan politik praktis dalam lima tahun ke depan?
Soal Paradigma
Jika warga NU melihat tiga nama di atas secara jernih, muncul pemahaman bahwa mereka tidak sedang memilih siapa yang paling kuat, melainkan memilih arah organisasi.
Nasaruddin melambangkan sinergi struktural negara. Nusron melambangkan kekuatan kader, jaringan politik, dan konsolidasi generasi muda. Zulfa melambangkan akar kultural, tradisi keilmuan, dan integritas intelektual.
Masing-masing memiliki kekurangan dan keunggulan, dan ketiganya merepresentasikan jalan yang berbeda bagi masa depan NU. Dengan kata lain, pilihan warga NU pada muktamar mendatang bukan hanya soal figur, tetapi soal paradigma.
Masa depan NU dapat dibangun melalui jalan negara, jalan politik, atau jalan tradisi. Yang ideal adalah kombinasi dari ketiganya, namun realitas kontestasi menuntut NU menentukan prioritas.
Dalam situasi seperti ini, warga Nahdliyin tidak hanya perlu melihat kekuatan saat ini, tetapi juga membaca tantangan masa depan.
NU akan berhadapan dengan isu-isu strategis seperti transformasi digital keagamaan, politik elektoral yang semakin pragmatis, kompetisi pengaruh antar kelompok Islam, hingga kebutuhan memperkuat kesejahteraan umat melalui ekonomi berbasis komunitas.
Pemimpin berikutnya harus mampu memainkan peran ganda sebagai ulama, manajer organisasi besar, komunikator publik, sekaligus jembatan antara pesantren dan negara. Karena itu, diskusi terkait siapa yang paling tepat memimpin NU sebaiknya tidak terjebak pada dikotomi struktural versus kultural.
Yang dibutuhkan adalah sosok yang mampu mempertemukan keduanya secara proporsional, tidak kehilangan akar tradisi, tetapi mampu mengelola jejaring politik dan administrasi modern.
Akhirnya, siapapun yang dipilih, Nasaruddin Umar, Nusron Wahid, atau Zulfa Mustofa, ketiganya merupakan kader terbaik NU.
Load more