Kasus Affan Kurniawan: Kompol Cosmas Di-PTDH, Bripka Rohmat Demosi 7 Tahun – Apa Bedanya?
- Antara
Jakarta, tvOnenews.com – Insiden meninggalnya Affan Kurniawan, pengemudi ojek online berusia 21 tahun, dalam aksi demonstrasi pada 28 Agustus 2025, meninggalkan luka mendalam sekaligus memicu sorotan publik terhadap prosedur pengamanan yang dilakukan aparat. Affan tewas setelah terlindas kendaraan taktis (rantis) Brimob yang dikemudikan oleh anggota Polri.
Kasus ini kemudian bergulir ke meja sidang Komisi Kode Etik Profesi (KKEP) Polri. Dua nama muncul sebagai pihak yang paling bertanggung jawab, yakni Kompol Cosmas Kaju Gae dan Bripka Rohmat, sopir rantis yang menggilas korban.
Sidang etik memutuskan bahwa keduanya terbukti melanggar Kode Etik Profesi Polri (KEPP), meski dengan tingkat hukuman berbeda.
Kompol Cosmas Dipecat Tidak Hormat (PTDH)
Kompol Cosmas yang saat insiden menjabat sebagai komandan di dalam rantis, dijatuhi sanksi terberat berupa Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH). Putusan ini diambil setelah sidang KKEP pada 3 September 2025. Dalam sidang, Cosmas terlihat menangis saat mendengar putusan sekaligus menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga Affan.
Lalu, Apa Sebenarnya PTDH Itu?
Berdasarkan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri, PTDH merupakan sanksi administratif paling berat yang bisa dijatuhkan kepada anggota Polri.
Dalam Pasal 109 ayat (1) dijelaskan bahwa PTDH adalah bentuk hukuman administratif, sedangkan pada ayat (2) ditegaskan, sanksi ini dijatuhkan bagi anggota yang melakukan pelanggaran dengan kategori sedang hingga berat.
Pelanggaran yang dapat berujung PTDH meliputi etika kenegaraan, etika kelembagaan, etika kemasyarakatan, maupun etika kepribadian. Dengan kata lain, PTDH dijatuhkan ketika pelanggaran dinilai serius hingga mencoreng nama baik institusi.
Meski sudah ada putusan, anggota Polri atau keluarganya masih bisa mengajukan banding. Mekanisme banding maupun peninjauan kembali (PK) diatur dalam Pasal 3 ayat (2) Perpol No. 7/2022, di mana keputusan awal KKEP bisa ditinjau ulang melalui sidang KKEP Banding atau KKEP PK.
Bripka Rohmat Demosi Selama 7 Tahun
Berbeda dengan Cosmas, Bripka Rohmat yang menjadi pengemudi rantis dijatuhi sanksi demosi selama tujuh tahun dan penempatan khusus (patsus) selama 20 hari. Putusan ini dibacakan dalam sidang KKEP pada 4 September 2025.
Rohmat dianggap lalai dalam menjalankan tugas hingga menyebabkan nyawa melayang. Meski demikian, ia masih diperbolehkan bertahan di institusi Polri, namun kariernya terhenti akibat hukuman demosi.
Lantas, Apa Itu Demosi?
Menurut Pasal 1 angka 24 Peraturan Kapolri Nomor 19 Tahun 2012, demosi adalah mutasi yang bersifat hukuman berupa pelepasan jabatan, penurunan eselon, dan pemindahan ke jabatan, fungsi, atau wilayah berbeda.
Aturan lain, yakni Pasal 66 ayat (5) Perkap No. 2 Tahun 2016, menegaskan bahwa demosi dapat dijatuhkan kepada anggota yang menduduki jabatan struktural maupun fungsional, untuk kemudian dimutasi ke jabatan lebih rendah atau bahkan tanpa jabatan.
Dalam kasus Rohmat, hukuman ini berarti ia tidak akan bisa lagi menempati posisi strategis di sisa masa dinasnya. Selain itu, ia diwajibkan menyampaikan permintaan maaf secara lisan di hadapan majelis sidang dan secara tertulis kepada pimpinan Polri.
Bedanya PTDH dan Demosi
Perbedaan paling mencolok antara PTDH dan demosi terletak pada konsekuensinya. PTDH membuat seorang anggota Polri kehilangan status dan hak-haknya sebagai polisi, sementara demosi hanya menurunkan jabatan dan membatasi ruang karier, tetapi anggota masih aktif berdinas.
Kasus Affan Kurniawan menjadi contoh nyata penerapan dua sanksi ini secara bersamaan. Kompol Cosmas harus mengakhiri pengabdiannya secara tidak hormat, sedangkan Bripka Rohmat tetap bisa melanjutkan dinas, meski dengan catatan karier yang suram. (nsp)
Load more