Uji Materi UU Tipikor, 24 Tokoh Antikorupsi Sampaikan Pandangannya ke MK
- Istimewa
Dalam praktiknya, ekonom sekaligus mantan Staf Khusus Wakil Presiden RI Wijayanto Samirin menyampaikan penanganan perkara korupsi di Indonesia cenderung lebih menekankan pada aspek kerugian negara daripada unsur memperkaya diri secara melawan hukum.
Padahal, dia berpendapat potensi rugi atau untung merupakan konsekuensi dari pengambilan keputusan, misalnya dalam konteks bisnis Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"Hal ini mengaburkan esensi korupsi itu sendiri, yaitu perbuatan curang yang bertujuan mendapatkan keuntungan secara tidak sah, baik bagi diri sendiri maupun pihak lain,” kata Wijayanto dalam kesempatan yang sama.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat menambahkan salah fokus dalam pemberantasan korupsi berdampak buruk pada kualitas penegakan hukum, menciptakan ketidakpastian bagi mereka yang bekerja di sektor publik, dan menjadikan upaya pencegahan bukan sebagai prioritas.
“Dengan banyaknya contoh kasus yang ada, para pejabat termasuk direksi BUMN menjadi takut untuk membuat keputusan strategis yang dapat membawa risiko keuangan, meskipun keputusan tersebut bertujuan untuk kebaikan publik,” ujar Komaruddin.
Sementara itu, pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan definisi korupsi dalam UU Tipikor yang menekankan kerugian negara sebagai indikasi korupsi tidak diakui negara lain.
Mengacu pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi (UNCAC) tahun 2003, kata dia, korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi atau orang lain secara melawan hukum.
“Kelemahan ini membuat proses Mutual Legal Assistance (MLA) sulit dijalankan karena syaratnya adalah perbuatan tersebut harus dianggap sebagai kejahatan di kedua negara yang bekerja sama,” ungkap Hikmahanto. (ant/raa)
Load more