Asas Dominus Litis di RUU KUHAP: Antara Integrasi Kewenangan dan Ancaman Penyalahgunaan
- Pixabay
Jakarta, tvOnenews.com - Perubahan dalam sistem hukum pidana bukan perkara sepele. Setiap revisi atau rancangan undang-undang, terlebih yang menyangkut hukum acara pidana, mesti melalui kajian yang cermat. Salah satu isu yang kini mencuat adalah penguatan asas dominus litis dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Wacana ini memantik respons kritis dari kalangan akademisi dan praktisi hukum.
Permasalahan utama muncul dari kekhawatiran bahwa kewenangan jaksa yang terlalu dominan dalam proses penanganan perkara akan membuka ruang penyalahgunaan wewenang. Konsentrasi kekuasaan tanpa pengawasan berimbang, kerap kali berujung pada ketimpangan dalam sistem peradilan pidana.
Disharmoni antarlembaga penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan selama ini juga memperkuat argumen perlunya sistem koordinasi yang jelas, khususnya pada tahap prapenuntutan. Jika dominus litis diterapkan tanpa rambu yang ketat, kekuasaan yang terkonsentrasi berpotensi menjadi alat politik.
Menurut banyak pihak, penegakan hukum idealnya berjalan dengan prinsip integrasi yang seimbang, bukan dominasi satu institusi atas lainnya. Sistem hukum yang sehat mengedepankan koordinasi, bukan subordinasi. Maka, rancangan perundang-undangan pun harus diarahkan pada keadilan yang merata.
Diskusi publik bertema "Dominus Litis dalam RUU KUHAP" yang diadakan oleh Forum Diskusi Ilmiah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) menjadi ajang pertukaran gagasan terkait isu ini. Di forum tersebut, berbagai pandangan akademis dilontarkan dengan argumentasi tajam dan jernih.
Dr. Febby Mutiara Nelson dari Universitas Indonesia menyatakan bahwa problem utama terletak pada lemahnya koordinasi penyidik dan jaksa. Ia menilai, “RUU KUHAP perlu memasukkan mekanisme pengawasan eksternal terhadap kolaborasi antara jaksa dan penyidik.”
Senada, Dr. Hendri Jayadi Pandiangan dari UKI mengingatkan bahwa dominus litis yang saat ini berlaku dalam perkara korupsi, jika diterapkan luas, bisa berbahaya. “Ada kekhawatiran asas dominus litis dapat memusatkan kekuasaan kejaksaan secara berlebih dan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang,” ujarnya. Ia juga menegaskan pentingnya integrasi antarlembaga hukum: “Sistem peradilan pidana harus mengedepankan koordinasi antarpenyidik, jaksa, hakim, dan advokat.”
Lebih lanjut, ia mengusulkan solusi praktis berupa aturan teknis bersama. “Diperlukan SKB antara Polri, Kejaksaan, KPK, dan TNI untuk mengatur peran masing-masing secara adil dan terukur,” sarannya.
Dr. Petrus C.L. Belo pun menyuarakan keberatan. Ia menegaskan bahwa sistem penegakan hukum di Indonesia menganut prinsip diferensiasi fungsional. “Dominus litis menimbulkan konsentrasi kekuasaan di tangan jaksa yang berisiko disalahgunakan. Harus ada mekanisme check and balance,” tegasnya.
Sementara itu, Dr. Filpan Fajar Dermawan Laya memberikan perspektif dari dalam institusi kejaksaan. Ia menjelaskan bahwa peran jaksa sebagai pengendali perkara dijalankan sesuai amanat UU. “Kami diawasi oleh pihak internal. Proses hukum berjalan dari penyidikan, penuntutan hingga eksekusi,” katanya. Meski begitu, ia menyadari pentingnya pengawasan lebih luas. “Perlu pengaturan yang baik agar dominus litis tidak disalahgunakan dan tetap dalam kerangka checks and balances,” tambahnya.
Diskusi ini menunjukkan bahwa perubahan dalam sistem hukum pidana tak bisa dilepaskan dari kehati-hatian dan transparansi. Bukan dominasi yang diutamakan, melainkan sinergi demi keadilan dan kepastian hukum yang lebih baik. (nsp)
Load more