SETIAP upaya mempertemukan banyak orang—terlebih bagi perkumpulan berdasar atas tempat belajar yang sama, seperti Ikatan Alumni (IKA) UIN Saizu Purwokerto—saya selalu antusias karena di sana ada iktiar terus menerus menjalin silaturahmi.
Mengikatkan, merekatkan kembali kerahiman, rahim (penyayang), salah satu sifat Allah yang dititipkan pada setiap manusia adalah bahasa kemanusiaan universal. Sebuah sunnahtullah, sebuah kewajiban utama kemanusiaan.
Silaturahim begitu sentral sehingga berdasarkan sebuah penelitian, orang mungkin tahan tidak meninggal dunia jika tidak makan minum selama beberapa minggu, tapi akan lebih cepat passed away jika terputus silaturahmi sosialnya dengan orang lain. Dalam konteks ini saya kira, ada benarnya ungkapan silaturahmi memperpanjang umur dan rejeki.
Hanya untuk apa kita perlu bertemu kembali, reuni, menyatukan kembali balung balung yang berserakan ini? Setiap diksi “re” adalah ajakan untuk mempertanyakan kembali. Revitalisasi, republik, termasuk reuni adalah ajalan untuk mempertanyakan kembali manfaat dan makna makna dari kata kata tersebut.
Vokalis Padi, Fadly
Bagi saya, reuni menjadi bermakna jika kita mempertanyakan kembali alasan alasan kenapa kita perlu bersatu kembali. Reuni akan bermakna jika bukan sekedar kembali. Reuni akan punya arti jika ia menjadi sebuah kata kerja.
Apa boleh buat, saya terpesona dengan solidnya teman teman di IA ITB misalnya yang bisa mengusai ekonomi nasional karena alumninya saling bersinergi menguasai sektor riil di negeri ini. Tagline mereka sangat jelas, harmoni in progresio, semangat bersinergi, membangun harmoni untuk menciptakan kemajuan. Secara nilai nilai, kalimat ini begitu imajinatif sehingga menciptakan daya hidup bagi alumninya untuk saling dukung mendukung, saling bergotong-royong menciptakan kemajuan dan hidup bersama.
Load more