Pemohon Nilai Kontradiktif Soal Uji Materiil UU Tipikor yang Diputuskan MK
- Istimewa
“Saya sangat mendukung upaya pemberantasan korupsi. Namun, melihat perkara yang terjadi pada Tom Lembong, Ira Puspadew, dan banyak lagi, maka akan bertambah lagi orang-orang yang dikriminalisasi seperti saya dengan ditolaknya judicial review ini. Karena, tidak perlu pembuktian adanya niat jahat. Cukup dengan adanya perhitungan kerugian keuangan dan perekonomian negara, orang sudah bisa dijerat pidana korupsi,” katanya.
Dalam putusan atas uji materiil Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor dengan nomor perkara 142/PUU‑XXII/2024 dan 161/PUU‑XXII/2024 yang dibacakan Rabu (17/12/2025), MK menolak seluruh permohonan para pemohon.
Namun, MK memahami adanya diskursus mengenai multitafsir dan ketidakkonsistenan aparat penegak hukum terhadap norma Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 yang bisa menimbulkan ketidakpastian.
Karena itu, MK merekomendasikan pembentuk undang-undang untuk mengkaji kembali dan merumuskan ulang kedua pasal tersebut.
Selain itu, putusan atas Perkara 161/PUU‑XXII/2024 juga diwarnai oleh perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari salah satu hakim, Arsul Sani. Menurut dia, seharusnya MK mengabulkan sebagian permohonan, yaitu untuk norma Pasal 2 ayat 1 perlu ditambahkan frasa “dengan maksud” sebagai bukti adanya niat jahat (mens rea).
Sebagaimana diketahui, uji materiil atas Pasal 2 Ayat 1 dan Pasa 3 UU Tipikor dimohonkan oleh Syahril Japarin selaku mantan Direktur Utama Perum Perindo, Kukuh Kertasafari selaku mantan pegawai Chevron Indonesia, Nur Alam selaku mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, dan Hotashi Nababan selaku mantan Direktur Utama Merpati Airlines.
Para pemohon meminta agar MK menghapuskan frasa 'kerugian keuangan negara' dalam kedua pasal tersebut atau tetap digunakan dengan tambahan syarat adanya unsur suap dan niat jahat.(raa)
Load more