Merdeka dari Kegelapan: Mimpi Bahlil Terangi Desa-Desa di Ujung Negeri
- Istimewa
Cerita Bahlil kemudian bergeser ke hal yang lebih personal—kenangan masa kecilnya di kampung tanpa listrik. Ia mengingat masa ketika papan tulis masih pakai kapur dan penghapusnya dibuat dari kain bekas yang dijahit sendiri oleh murid-murid. “Kalau siswa nakal, tugasnya menjahit penghapus,” ujarnya sambil tertawa, lalu menambahkan, “Itu kearifan lokal yang membentuk anak-anak tangguh. Dari situ lahir pemimpin, pengusaha, jenderal, orang besar.”
- Istimewa
Baginya, listrik bukan sekadar fasilitas. Ia adalah jembatan yang menyatukan masa lalu dan masa depan. Tanpa listrik, anak-anak desa tertinggal dari dunia yang semakin digital. “Saya tidak bisa bayangkan anak-anak di kota belajar dengan teknologi, sementara anak-anak di pelosok masih gelap,” kata Bahlil.
Dalam pidatonya yang hangat namun sarat makna, ia mengingatkan pesan Presiden Prabowo Subianto agar semua anak Indonesia mendapat akses pendidikan dan teknologi yang sama. “Tujuannya sederhana,” katanya, “agar nanti mereka yang sukses tidak lupa dengan rakyat yang masih susah.”
Bahlil menatap jauh ke arah barisan siswa SD yang hadir siang itu. “Mungkin anak-anak dari 5.700 desa dan 4.400 dusun yang belum berlistrik ini, dua puluh atau tiga puluh tahun lagi akan jadi presiden, menteri, atau gubernur,” ujarnya dengan suara yang pelan namun penuh keyakinan.
Ia menutup pidatonya dengan kalimat yang mencerminkan keyakinan rohaninya. “Barang siapa yang menyelesaikan perkara kecil dengan baik, Tuhan akan memberinya perkara besar,” katanya, disambut tepuk tangan panjang.
Sore itu, ketika matahari turun di balik perbukitan Minahasa, lampu-lampu baru di desa itu mulai menyala serentak. Satu per satu rumah bercahaya, dan tawa anak-anak terdengar dari kejauhan. Program Merdeka dari Kegelapan bukan sekadar proyek pembangunan—ia adalah cerita tentang harapan, keteguhan, dan keyakinan bahwa cahaya memang selalu datang, bahkan untuk desa yang paling jauh sekalipun.(chm)
Load more