DPR Ungkap Total Kerugian akibat Pagar Laut Tangerang, Desak Pengusutan hingga Tuntas: Banyak Aturan yang Dilanggar
- Taufik-tvOne
Jakarta, tvOnenews.com - Anggota Komisi III DPR RI, Abdullah, mengkritik keras soal benang kusut kasus pagar laut di pesisir Tangerang, Banten.
Ia menyerukan agar pemerintah, khususnya aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas kasus pemasangan pagar laut yang diduga melanggar berbagai undang-undang.
"Ingat, Indonesia ini negara hukum, bukan negara kekuasaan. Para pakar dan berbagai lapisan masyarakat yang mempertanyakan penegakan hukum kepada tersangka atau yang diduga bersalah adalah peringatan dini dari mereka terkait kepercayaan pada penegakan hukum," ujar Abdullah di Jakarta, Rabu (29/1/2025).
Menurut Abdullah, pagar laut di Tangerang, Banten, dimiliki oleh sejumlah perusahaan dan individu. PT Agung Intan Makmur tercatat memiliki Hak Guna Bangunan (HGB) untuk 234 bidang tanah, PT Cahaya Inti Sentosa untuk 20 bidang, dan sembilan individu memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) untuk 17 bidang.
Total, ada 263 bidang tanah yang berstatus HGB di lokasi pagar laut tersebut. SHGB tersebut dinilai bermasalah karena berpotensi melanggar berbagai regulasi.
Pelanggaran tersebut termasuk KUHP, Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Kelautan, Undang-Undang Sumber Daya Air, Undang-Undang Cipta Kerja, serta Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Abdullah menekankan bahwa proses hukum terhadap pelanggaran ini harus segera dilakukan, mengingat dampak yang ditimbulkan sangat besar, termasuk kerusakan ekosistem laut.
Selain merusak lingkungan, pagar laut ini juga berdampak langsung pada para nelayan yang menggantungkan hidup mereka dari laut di sekitar area tersebut.
Akses mereka menjadi terhambat, yang berimbas pada berkurangnya hasil tangkapan dan pendapatan.
Abdullah, yang berasal dari Fraksi PKB, mengungkapkan bahwa Ombudsman RI telah mencatat kerugian akibat pemasangan pagar laut ini mencapai Rp116,91 miliar per tahun.
Rinciannya terdiri dari penurunan pendapatan nelayan sebesar Rp93,31 miliar per tahun, peningkatan biaya operasional nelayan Rp18,60 miliar per tahun, serta kerusakan ekosistem laut senilai Rp5 miliar per tahun.
Selain itu, warga Desa Kohod melaporkan dugaan pencatutan nama mereka dalam sertifikat HGB ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
Load more