Jakarta, tvOnenews.com - Masa perpanjangan jabatan Ketua KPK menjadi kontroversi hingga menuai komentar para tokoh publik. Satu di antaranya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan RI, Mahfud MD.
Mahfud MD menyebutkan, bahwa purutusan MK terkait perpanjangan jabatan komisioner KPK itu dinilai akan membuka dua opsi kemungkinan yang tidak biasanya.
"Karena dulu tentang KPK sesudah lahir undang-undang nomor 19 ada perubahan syarat umur calon ketua KPK minimal 50 tahun, tetapi waktu itu pak Gufron mendaftar belum 50 tahun, maka diperlakukan undang-undang saat mendaftar tidak langsung berlaku seketika itu," ungkap Mahfud MD.
Selain itu Mahafud MD katakan, Gufron boleh mencalonkan diri lagi sebagai komisioner KPK, namun apa bisa di perpanjang atau tidak karena saat ini masih ada dua opsi perubahan penetapan perpanjangan komisioner KPK, berlaku kedepan atau malah berlaku seperti biasanya.
"Kalau di dalam hukum administrasi yang sifatnya fasilitatif itu akan berlaku kepada pereode berikutnya. Ada juga yang mengatakan putusan MK itu berlaku begitu diucapkan, tetapi ada juga putusan itu berlaku beberapa tahun kemudia, contoh undang-undang KPK dahulu, seperti dibentuknya undang-undang agar dibentuk KPK di setiap daerah, itu tidak langsung berlaku diberi waktu dua tahun kemudian," katanya.
"Kalau di dalam hukum administrasi yang sifatnya fasilitatif itu akan berlaku kepada pereode berikutnya. Ada juga yang mengatakan putusan MK itu berlaku begitu diucapkan, tetapi ada juga putusan itu berlaku beberapa tahun kemudia, contoh undang-undang KPK dahulu, seperti dibentuknya undang-undang agar dibentuk KPK di setiap daerah, itu tidak langsung berlaku diberi waktu dua tahun kemudian," tambahnya.
Penetapan MK soal perpanjangan jabatan komisioner KPK itu ditafsirkan berganda, namun itu semua akan di lihat dan akan di pelajari demi kemajuan Indonesia dalam pemberantasn korupsi
"Namun saya tegaskan tidak ada Politisasi dalam penetapan perpanjangan jabatan komisioner KPK oleh MK, dan akan dicari yang terbaik untuk Indonesia kedepan," pungkasnya.
Ketua KPK, Firli Bahuri
Selain itu, Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid menilai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 terkait perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK sangat problematis dan multi tafsir.
Pasalnya, sulit membangun korelasi antara justifikasi putusan MK ini dengan eksistensi masa jabatan pimpinan KPK saat ini.
"Sangat sulit untuk membangun korelasi sebagai justifikasi dari putusan MK dalam perkara Nomor 112/PUU-XX/2022 terhadap keberlangsungan serta keabsahan pimpinan KPK saat ini. Sebab dalam putusan itu sendiri sama sekali tidak memberikan jalan keluar sebagai konsekuensi diterimanya permohonan ini," ujar Fahri kepada media, Sabtu (27/5/2023).
Mengutip pertimbangan hukum MK dalam putusan tersebut yang tertuang dalam halaman 117. Dia katakan, pertimbangan hukum MK berbunyi, 'Dengan mempertimbangkan masa jabatan pimpinan KPK saat ini yang akan berakhir pada 20 Desember 2023 yang tinggal kurang lebih 6 (enam) bulan lagi, maka tanpa bermaksud menilai kasus konkret, penting bagi Mahkamah untuk segera memutus perkara a quo untuk memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan yang berkeadilan'.
Menurut Fahri, pertimbangan MK tersebut bukanlah pijakan konstitusional bagi pimpinan KPK saat ini terkait kewenangan transisi sampai dengan Desember 2024. Pasalnya, putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum sebagaimana diatur dalam Pasal 47 UU MK.
"Artinya secara teoritik putusan MK bersifat prospektif ke depan atau forward looking, dan tidak retroaktif ke belakang atau backward looking, itu adalah prinsip dasar, sehingga presiden sebagai kepala negara akan diperhadapkan dengan suatu kondisi yang sangat problematis sehingga membutuhkan suatu kehati hatian yang tinggi," jelas Fahri.
Fahri juga menilai putusan MK tersebut tidak membuat kanal konstitusional, minimal pada amar putusannya, untuk menampung keadaan khusus mengenai kaidah peralihan. Menurut dia, hal tersebut penting agar memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum antara ketentuan yang ada dengan putusan MK tersebut.
"Hal itu tujuannya untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum atau menjamin kepastian hukum; dan memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau putusan yang sifatnya mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara," ungkap dia.
Lebih lanjut, Fahri menyoroti standar ganda MK terkait open legal policy atau kebijakan hukum pembuat undang-undang dalam putusan MK soal perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK ini. Pasalnya, dalam putusan tersebut, MK mengesampingkan open legal policy dengan sejumlah pertimbangan, yakin bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, dan menimbulkan ketidakadilan yang intolerable, merupakan penyalahgunaan wewenang, melampaui kewenangan pembentuk undang-undang dan/atau bertentangan dengan UUD 1945.
Sementara, kata Fahri, dalam uji materi lain seperti uji materi ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold, MK secara konsisten menyebutnya sebagai open legal policy.
"Dengan MK mengabulkan permohonan mengubah masa jabatan pimpinan KPK dari 4 tahun menjadi 5 tahun, dikhawatirkan akan memantik permohonan lain di kemudian hari terhadap adanya perbedaan masa jabatan pimpinan di beberapa lembaga atau komisi negara. MK akan masuk ke wilayah yang selama ini merupakan kewenangan pembentuk undang-undang," pungkas Fahri. (aag)
Load more