Akademisi yang memahami dilahirkan Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pada saat itu dan Ahli Hukum Kehutanan pada pengujian Putusan MK no. 45/PUU-IX/2011 ini menegaskan, kalau pun Duta Palma dipermasalahkan, seharusnya masuk dalam ranah administratif sesuai PP 24 tahun 2021.
Untuk itu, dirinya mengaku heran dengan Kejaksaan yang membawa kasus seperti ini ke ranah pidana.
“Dia (kejaksaan) menggunakan UU Tipikor seolah-olah undang-undang sapu jagad. Padahal, ada batasannya dia menggunakan itu. Penyidik seolah-seolah semua supaya bisa masuk, terus dimasukan korupsi. Ini namanya kan mengada-ada juga,” tegasnya.
Terkait kerugian negara, kata dia, Duta Palma sama sekali tidak menggunakan uang negara. Karena Duta Palma adalah perusahaan swasta, yang menggunakan modal sendiri.
Sadino memandang, perkara Duta Palma sebenarnya memperlihatkan carut-marut dalam konteks regulasi perkebunan, kehutanan dan tata ruang yang tidak sinkron. Karena itu lahir namanya Pasal 110A dan 110B UU Ciptaker dan Perpu 2 tahun 2022 untuk menengahi dan menyelesaikan persoalah kawasan hutan.
“Ini ada solusi begini, malah sekarang sudah ditabrak. Mau menggunakan apa instrumennya? Masa terus undang-undang korupsi? Siapa yang korupsi? Duitnya duit siapa?” tanya Sadino heran.
Seharusnya, Kejaksaan sebagai bagian dari pemerintah mengikuti produk yang dibuat Presiden Joko Widodo. Ia sendiri mengaku kaget saat mendengar tuntutan seumur hidup yang dilontarkan jaksa terhadap Surya Darmadi. Ia khawatir, tuntutan tersebut nantinya menjadi beban bagi majelis hakim.
Load more