- ANTARA
Ekonom Prediksi Neraca Dagang RI Masih Surplus US$2,9 Miliar, Tapi Ada Ancaman April
Jakarta, tvOnenews.com – Ekonom Mirae Asset, Rully Arya Wisnubroto, memproyeksikan neraca perdagangan Indonesia pada Maret 2025 masih akan mencatatkan surplus sebesar US$2,9 miliar, meskipun tensi perang dagang antara Amerika Serikat dan China semakin memanas.
Menurut Rully, ekspor bersih Indonesia sepanjang kuartal I 2025 masih mampu menopang neraca dagang, meskipun tekanan dari tarif resiprokal AS akan mulai terasa dalam beberapa bulan ke depan.
“Maret ini masih surplus. Dampak perang tarif belum terasa signifikan. Namun, mulai April dan seterusnya, risiko kita bisa berbalik dari surplus ke defisit cukup besar,” ungkap Rully dalam media day Mirae Asset di Jakarta, Kamis (17/4).
Dampak Penundaan Tarif Trump Hanya Sementara
Meskipun Presiden AS Donald Trump memberikan masa penundaan selama 90 hari sebelum menerapkan tarif resiprokal terhadap Indonesia, hal itu dipandang hanya memberi waktu jeda, bukan solusi jangka panjang. Rully menekankan bahwa ketergantungan ekspor Indonesia terhadap pasar AS akan menimbulkan tantangan serius apabila kebijakan tarif benar-benar diberlakukan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada tahun 2024, AS menjadi negara tujuan ekspor terbesar kedua Indonesia setelah China, dengan nilai ekspor mencapai US$26,31 miliar, sementara ekspor ke China sebesar US$62,44 miliar.
“Kalau pemerintah AS serius dengan kebijakan surplus mereka, kita harus siap menghadapi tekanan. Apalagi ekspor kita ke AS sangat signifikan,” jelasnya.
Indonesia Terancam Banjir Produk China
Rully juga mengingatkan soal potensi banjir barang dari China ke pasar domestik Indonesia, seiring meningkatnya hambatan dagang China ke AS. Dengan tarif tinggi dari AS, produk China yang gagal masuk ke pasar Negeri Paman Sam berisiko dialihkan ke negara-negara seperti Indonesia, sehingga dapat menekan sektor industri dalam negeri.
“Efek ganda dari perang dagang bisa membuat kita kewalahan. Di satu sisi harga impor dari AS naik, di sisi lain pasar kita bisa dibanjiri produk murah dari China,” kata Rully.
Emas, Batu Bara, dan CPO Masih Jadi Andalan Ekspor RI
Meski ancaman membayangi, Indonesia masih mendapatkan keuntungan dari lonjakan harga komoditas global. Harga emas dunia menembus rekor tertinggi dalam sejarah, mencapai US$3.353,79 per troy ounce, naik lebih dari 3,5 persen dalam satu pekan terakhir.
“Ini jadi penyelamat. Emas, batu bara, dan CPO menopang kinerja ekspor kita di Maret,” tambahnya.
Indonesia merupakan negara dengan cadangan emas yang besar dan ekspor emas berkontribusi signifikan dalam menjaga surplus neraca perdagangan.
Delegasi RI Negosiasi di AS: Usung TIFA dan Relaksasi Tarif
Pemerintah Indonesia saat ini tengah berupaya meredam dampak perang dagang lewat pendekatan diplomasi ekonomi. Delegasi Indonesia yang dipimpin Menko Perekonomian Airlangga Hartarto bersama Menlu Sugiono dan Menkeu Sri Mulyani tengah berada di Washington DC untuk melobi Pemerintah AS.
Agenda utama perundingan adalah revitalisasi Trade and Investment Framework Agreement (TIFA), pelonggaran Non-Tariff Measures (NTMs) termasuk relaksasi TKDN, serta penawaran peningkatan impor migas dari AS.
Selain itu, pemerintah juga tengah merancang insentif fiskal dan nonfiskal, seperti pengurangan bea masuk, PPh dan PPN impor guna menjaga daya saing ekspor Indonesia.
Indonesia Tidak dalam Posisi Tawar Kuat
Meski demikian, Rully mengakui bahwa posisi Indonesia dalam negosiasi tidak sekuat negara-negara besar seperti China atau Uni Eropa. Indonesia tidak memiliki kekuatan retaliasi besar terhadap kebijakan AS.
“Sayangnya posisi kita tidak sekuat itu. Tapi tetap ada harapan tercapainya kesepakatan yang menguntungkan kedua pihak,” tuturnya. (ant/nsp)