"Siapa saja meninggal dunia dan mempunyai kewajiban puasa, maka dapat digantikan dengan memberi makan kepada seorang miskin pada tiap hari yang ditinggalkannya." (HR Tirmidzi, dari Ibnu 'Umar)
Namun hadist diatas oleh Imam Tirmidzi telah dinyatakan sebagai hadits gharib. Bahkan oleh sebagian ahli hadits dinyatakan sebagai hadits mauquf, atau ditangguhkan alias tidak dipakai. Sehingga hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah.
Pendapat kedua, menyatakan bahwa jika orang yang memiliki kewajiban qodho puasa meninggal dunia, maka pihak keluarganya wajib melaksanakan qadha puasa tersebut, sebagai gantinya tidak boleh dengan fidyah.
Sedangkan dalam prakteknya, pelaksanaan qadha' puasa tersebut, boleh dilakukan oleh orang lain, dengan seijin atau atas perintah keluarganya.
Sabda Rasulullah SAW:
مَنْ مَاتَ وَ عَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
"Siapa saja meninggal dunia dan mempunyai kewajiban qadha puasa, maka walinya (keluarganya) berpuasa menggantikannya." (HR. Bukhari dan Muslim, dari Aisyah)
Pendapat kedua ini, dianggap lebih kuat lantaran hadits yang mendasarinya shahih. Sementara pendapat pertama dinilai lemah karena hadits yang mendasarinya marfu', gharib atau mauquf seperti dijelaskan di atas.
Lupa jumlah hari yang harus diqodho
Melaksanakan qodho puasa sebanyak hari yang telah ditinggalkan merupakan suatu kewajiban. Baik qodho puasa untuk dirinya sendiri, maupun untuk anggota keluarga yang telah meninggal dunia.
Namun dalam hal ini, tidak mustahil kita lupa jumlah hari yang harus diqodho akibat sudah terlalu lama. Dalam keadaan tersebut, paling bijak adalah dengan menentukan jumlah hari yang paling maksimum, karena kelebihan hari qodho lebih baik daripada kurang. Kelebihan hari qodho tersebut akan menjadi ibadah sunnah yang tentunya memiliki nilai tersendiri.(awy)
Load more