“Saat tsunami melanda Aceh, masjidnya hancur, yang tinggal cuma makam, makam tetap utuh masih dilengkapi kelambu,” katanya
Empat tahun kemudian, masjid yang awalnya berkonstruksi kayu ini kembali dibangun dengan bantuan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias. Struktur kayunya digantikan dengan beton agar lebih kokoh, tetapi arsitektur aslinya tetap dipertahankan dengan gaya tradisional Melayu-China. Masjid ini dibangun tanpa kubah dengan atap berbentuk persegi mengerucut menjadi tiga lantai, serupa dengan gaya banyak masjid kuno lainnya di Aceh.
Gaya bangunan ini diyakini sebagai simbol keagungan Islam. Lantai satu berarti Hakikat, lantai dua Tarikat, dan lantai tiga Makrifat. Bangunan dindingnya kemudian dicat berwarna putih berpadu dengan cat hijau pada bagian atap, pintu, dan jendela masjid dengan enam tiang menyangga teras depan masjid.
Tradisi keagamaan masih berlanjut
Masjid Teungku Di Anjong tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga pusat kegiatan keagamaan yang masih aktif hingga kini. Berbagai tradisi keagamaan rutin dilaksanakan di masjid bersejarah ini.
Fahmi, mengatakan bahwa salah satu kegiatan terbesar yang rutin digelar adalah peringatan haul, yakni peringatan tahunan untuk mengenang wafatnya Teungku Di Anjong. Haul ini diadakan dua kali dalam setahun, yaitu pada 14 Ramadhan dan Bulan Zulqaedah.
"Haul ini kami adakan dua kali, di 14 Ramadhan dan sekali lagi di bulan Zulqaedah. Peringatan di bulan Zulqaedah lebih besar karena kalau di bulan Ramadhan waktunya lebih sempit," kata Fahmi.
Load more