Tiga Menguak NU
- ANTARA
Fakta historis yang tak terbantah adalah generasi awal NU itu sering bertemu (bersatu) di Kantor NU (HBNO) Jalan Bubutan VI, di Langgar Gipo Jalan Kalimas Udik I, di Jalan Kertopaten Gang 3 (Rumah KH Wahab Chasbullah), termasuk rapat-rapat di Rumah KH Ridlwan Abdullah.
Penggagas utama NU adalah tiga serangkai (teman sepondok di Pesantren Syaikhona Cholil, Bangkalan), yakni KH Ridlwan Abdullah (usia 40 tahun pada 1926), KH Mas Alwi (usia 35 tahun pada 1926), dan KH Wahab Chasbullah (usia 37 tahun pada 1926). Dari tiga serangkai itulah muncul nama H Hasan Gipo (usia 57 tahun) dari Bani Gipo sebagai tanfizdiyah atau pelaksana teknis (halaman 11).
Tidak banyak yang tahu, H Hasan Gipo yang bernama lengkap H Hasan Basri Sagipodin adalah "karib kebangsaan" dari KH Wahab Chasbullah, yang menghabiskan masa kecil di sekolah umum Belanda dan beberapa pesantren di Surabaya dan Sidoarjo, lalu menjadi saudagar hingga ditunjuk oleh KH Wahab Hasbullah menjadi "presiden" pertama NU.
Hasan Gipo yang lahir di Kampung Sawahan, Ampel, Surabaya, pada tahun 1869 dan wafat pada tahun 1934 itu rumahnya ada di sisi timur Masjid Ampel (Jalan Ampel Masjid di sisi makam Bobsaid, tepatnya rumah kedua setelah makam Bobsaid yang sekarang ditempati toko) dan makamnya juga ada di kompleks Masjid Ampel (sisi timur Masjid Ampel, setelah makam Mbah Sholeh) (halaman 12-13).
Dalam keterangannya (2015), sesepuh Bani Gipo, almarhum H Ismail Saleh, menjelaskan rumah Hasan Gipo di Ampel Masjid itu tidak jauh dari rumah mertua KH Wahab Hasbullah di Kertopaten Gang 3, Ampel, Surabaya, sehingga KH Wahab Hasbullah sangat dekat dengannya, lalu menunjuknya menjadi Ketua Umum PBNU yang pertama era Muktamar 1 hingga 9 (1926-1934) (halaman 14-15).
Meski ada buku yang menyebutkan H Hasan Gipo hanya menjadi "presiden" NU hingga 1928 (3 kali muktamar), namun periset sejarah dari dzurriyah Gipo, Asrul Sani Gipo, meluruskan bahwa Statuta 1930 masih menyebutkan Hasan Gipo sebagai "president" NU, bahkan Hasan Gipo masih terpilih dalam Muktamar ke-9 di Banyuwangi (1934), meski tidak hadir karena kesehatan, sehingga Pj Tanfidziyah dijabat Mochammad Noer dari Surabaya.
Selain mengenalnya di Taswirul Afkar, KH Wahab Hasbullah menilai Hasan Gipo adalah sosok pemberani. Konon, ia pernah menantang Musso, tokoh komunis yang mendalangi Peristiwa Madiun 1948. Musso adalah ateis, maka Hasan Gipo mengajak Musso tidur telentang di atas rel kereta api agar digilas kereta yang lewat, untuk membuktikan adanya Tuhan, tapi Musso justru kabur (halaman 16-17).
Jadi, terbitnya tiga buku tentang tokoh penting dalam pertumbuhan NU itu menandai fakta kelahiran NU di Surabya, sekaligus menandai peran NU dalam persatuan hingga tingkat dunia, yang dilandasi kesalehan sikap, bukan logika semata, bukan membenturkan Islam dengan Pancasila, mengingat Islam adalah agama dan Pancasila adalah ideologi, sehingga hubungannya saling melengkapi.(antara-bwo)
Load more