Viral! Gen Z Lebih Memilih Curhat ke ChatGPT, Psikolog Ungkap Alasannya: Mirip Narkoba
- Freepik @frimufilms
tvOnenews.com - Fenomena viral belakangan ini memperlihatkan tren unik di kalangan generasi muda, khususnya Gen Z dan milenial, yang lebih memilih curhat ke ChatGPT dibanding berbagi cerita dengan teman atau keluarga.
Chatbot berbasis AI ini dianggap mampu memberikan dukungan emosional, tersedia 24 jam, dan tidak menghakimi.
Namun, di balik kemudahannya, psikolog memperingatkan adanya potensi bahaya yang perlu diwaspadai.
![]()
ilustrasi curhat ke ChatGPT. (Sumber: pexels.com/Matheus Bertelli)
Dalam penjelasan yang diunggah melalui kanal YouTube Hidup Sehat tvOne pada 13 Agustus 2025, dr. Faradila Keiko, MBMSc, SpKJ menyampaikan, “Jadi AI itu kan sekarang sudah canggih banget ya. Dia sudah dilengkapi dengan kecerdasan emosional juga. Jadi ketika merespons orang dia bisa memahami emosi kita, bisa merespons dengan tepat, bisa berempati juga dengan kita.”
Menurut dr. Faradila, kemampuan AI untuk merespons dengan empati membuat banyak orang merasa nyaman dan akhirnya membangun “kelekatan emosional” dengan chatbot tersebut.
Lama-kelamaan, pengguna bisa merasakan seolah AI adalah teman dekat yang selalu ada untuk mereka.
Ketergantungan yang Mirip Narkoba
Fenomena ini tidak selalu berbahaya, tetapi pada orang yang memiliki masalah mental atau emosional seperti depresi dan kecemasan, risiko ketergantungan terhadap AI lebih tinggi.
“Biasanya pada orang-orang yang memang punya masalah mental, masalah emosional, misalnya dia ada depresi, ada kecemasan, dia bisa berusaha lari nih kabur dari perasaan nggak nyaman itu,” jelas dr. Keiko.
Ia menambahkan bahwa pola ini mirip dengan ketergantungan narkoba atau kecanduan internet.
Rasa cemas dan kesepian bisa mendorong seseorang mencari pelarian instan melalui AI.
Saat AI memberikan jawaban atau dukungan, otak akan merespons dengan pelepasan zat kimia yang memicu rasa senang, mekanisme yang serupa dengan efek zat adiktif.
Risiko Mengikuti Instruksi AI
Meskipun AI bisa memberikan saran bermanfaat, terutama jika dikembangkan oleh psikolog untuk tujuan kesehatan mental tidak semua chatbot aman.
Dr. Faradila mencontohkan kasus berbahaya yang melibatkan anak 10 tahun. “AI nyuruh masukin charger ke stop kontak tapi masukinnya cuman separuh doang. Terus bagian charger yang enggak masuk stop kontak ini ditempelin ke koin. Itu kan bahaya banget ya,” ujarnya.
Instruksi itu ternyata diambil dari tantangan TikTok yang sedang viral, membuktikan bahwa tidak semua respons AI aman untuk diikuti, apalagi oleh anak-anak.
Mengapa Gen Z Memilih Curhat ke AI?
Selain ketersediaannya yang 24/7, AI dianggap netral, tidak menghakimi, dan mampu memberikan respons cepat.
Banyak orang merasa lebih nyaman berbagi cerita tanpa takut gosip atau stigma.
Namun, seperti ditegaskan dr. Faradila, “AI ini kan kapanpun ada untuk kita. Fenomena ketergantungan ini juga bisa terjadi pada AI.”
Saran dari Psikolog
Dr. Faradila menekankan pentingnya keseimbangan. AI bisa menjadi sarana bantu, tetapi tidak dapat menggantikan dukungan sosial dari manusia.
Cara sehat untuk mengatasi emosi tidak nyaman meliputi olahraga, interaksi sosial, dan mencari bantuan profesional.
Mengandalkan AI secara berlebihan berisiko membuat seseorang kehilangan kemampuan berkomunikasi di dunia nyata dan memperburuk rasa kesepian.
Fenomena Gen Z yang memilih curhat ke ChatGPT menunjukkan betapa teknologi telah masuk ke ranah emosional manusia.
Meski memberikan kenyamanan dan akses cepat, AI bukanlah pengganti hubungan manusia.
Menggunakannya secara bijak, sambil tetap membangun interaksi sosial nyata, menjadi kunci agar manfaat teknologi bisa dirasakan tanpa terjebak dalam ketergantungan yang berbahaya.
(anf)
Load more