Saham BBCA Tetap Menghijau di Tengah IHSG Anjlok 2,57 Persen, Ini Rahasia Kuatnya
- Istimewa
Jakarta, tvOnenews.com – Pasar saham Indonesia ditutup melemah tajam pada akhir pekan lalu, Jumat (15/10/2025). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 2,57 persen ke level 7.915, dengan tekanan jual masif di hampir seluruh sektor. Teknologi menjadi yang paling terpukul dengan koreksi 5,25 persen, disusul energi yang turun 5,02 persen, transportasi 4,18 persen, dan finansial 0,89 persen.
Namun di tengah kejatuhan pasar tersebut, saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) justru tampil sebagai pengecualian. BBCA menjadi satu-satunya saham bank besar yang berhasil bertahan di zona hijau, menguat 2,74 persen ke level Rp7.500 per saham. Kenaikan ini terjadi di tengah tekanan besar yang menyeret saham-saham konglomerasi dan perbankan lainnya.
Dalam data perdagangan, volume transaksi BBCA mencapai 1,57 juta lot dengan nilai mencapai Rp1,17 triliun. Sementara itu, saham BBRI dan BMRI masing-masing terkoreksi 0,85 persen dan 0,98 persen, sedangkan BBNI melemah 1,3 persen.
Menurut Analis Trimegah Sekuritas, Jonathan Gunawan, kekuatan BBCA di tengah tekanan IHSG tidak terlepas dari ekspektasi pasar terhadap laporan kinerja kuartal III-2025 yang akan segera dirilis. “Investor mulai masuk lebih awal karena mengantisipasi hasil earnings call BBCA pekan depan. Secara fundamental, bank ini masih menjadi benchmark di sektor finansial,” ujarnya.
Jonathan menilai, koreksi sektor perbankan yang terjadi belakangan ini lebih disebabkan oleh rotasi jangka pendek, bukan perubahan fundamental. “Valuasi BBCA kini justru relatif terdiskon dibanding rata-rata historisnya. Ketika pasar mulai stabil, BBCA akan cepat rebound,” tambahnya.
Berdasarkan laporan keuangan hingga Agustus 2025, BBCA mencatatkan laba bersih sebesar Rp39,06 triliun, tumbuh 8,52 persen secara tahunan (year-on-year). Pendapatan bunga bersih naik 5,08 persen menjadi Rp53,12 triliun, sementara pendapatan non-bunga melonjak 18,9 persen menjadi Rp18,3 triliun.
Efisiensi operasional BBCA juga menjadi sorotan, dengan rasio beban terhadap pendapatan (CIR) hanya 29,1 persen — salah satu yang terendah di industri perbankan nasional. Dari sisi intermediasi, penyaluran kredit mencapai Rp920,87 triliun atau tumbuh 9,28 persen yoy, melampaui rata-rata industri sebesar 7,3 persen.
Sementara itu, Dana Pihak Ketiga (DPK) BBCA mencapai Rp1.160 triliun, dengan dominasi dana murah (CASA) di level 83,5 persen. Struktur likuiditas ini menjaga Net Interest Margin (NIM) BBCA tetap solid meski kondisi pasar keuangan sedang ketat. “Dengan likuiditas ample dan CASA tinggi, margin BBCA lebih tahan terhadap tekanan pasar,” jelas Jonathan.
Dari sisi valuasi, saham BBCA saat ini diperdagangkan dengan Price to Book Value (PBV) sekitar 3,45 kali — di bawah rerata historisnya yang berada di atas 4 kali. Dengan Return on Equity (ROE) mencapai 25 persen dan cost of capital hanya 0,5 persen, BBCA masih menjadi bank paling efisien dan profitabel di antara pesaingnya.
“BBCA memang cenderung premium karena konsistensinya menjaga pertumbuhan aset dan laba selama lebih dari satu dekade. Pasar melihatnya sebagai saham defensif yang aman saat volatilitas tinggi,” kata Jonathan menutup analisisnya.
Konsensus analis Bloomberg juga memperkuat sentimen positif terhadap BBCA. Dari 37 analis yang memantau saham ini, 34 di antaranya memberikan rekomendasi “buy”, dengan target harga rata-rata Rp10.824 per saham — atau berpotensi naik sekitar 46 persen dari harga saat ini. (nsp)
Load more