KSPI Menilai BSU Tidak Adil dan Rawan Korupsi, Ada Jutaan Buruh Non-BPJS Tak Tersentuh Bantuan?
- tvOnenews.com/Julio Trisaputra
Jakarta, tvOnenews.com - Pemerintah belum lama ini resmi kembali menggulirkan program Bantuan Subsidi Upah (BSU) senilai Rp600.000 untuk periode dua bulan, atau setara Rp300.000 per bulan.
Bantuan ini ditujukan kepada pekerja bergaji di bawah Rp3,5 juta per bulan, termasuk buruh, guru, dan tenaga honorer.
Dana yang digelontorkan pemerintah tak sedikit, untuk program BSU saja Kementerian Keuangan menetapkan anggaran mencapai Rp10,72 triliun.
Kebijakan ini sebenarnya menjadi langkah stimulus dalam meningkatkan daya beli masyarakat kelas pekerja di tengah tekanan ekonomi.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sekaligus Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, menanggapi kebijakan ini dengan dua sisi.
“Sebagai pemimpin buruh dan perwakilan kaum pekerja mengapresiasi langkah pemerintah ini sebagai bentuk stimulus ekonomi untuk meningkatkan daya beli masyarakat,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima tvOnenews.com, Rabu (11/6/2025).
Meski demikian, Said Iqbal menilai kebijakan ini belum menyentuh akar persoalan yang dihadapi pekerja, terutama kalangan buruh dan tenaga honorer.
Ia menyampaikan sejumlah catatan kritis yang perlu diperhatikan pemerintah.
Catatan pertama, menurut Said Iqbal, bantuan ini hanya bersifat sementara karena berlangsung selama dua bulan saja.
Artinya, kebijakan ini hanya memberikan dampak sesaat dan lebih berorientasi pada pencapaian angka pertumbuhan ekonomi ketimbang membangun daya beli yang berkelanjutan.
Selepas dua bulan, daya beli buruh diprediksi akan kembali melemah, karena tidak ada perubahan struktural pada konsumsi masyarakat pekerja.
Kritik kedua diarahkan pada batasan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang dinilai belum berpihak kepada buruh.
Saat ini, batas PTKP masih di angka Rp4,5 juta per bulan. KSPI mengusulkan agar batas tersebut dinaikkan menjadi minimal Rp7,5 juta hingga Rp10 juta.
Dengan kenaikan itu, penghasilan bersih pekerja akan lebih besar dan dapat meningkatkan konsumsi rumah tangga.
“Jika konsumsi naik, maka daya beli meningkat, dan pertumbuhan ekonomi dapat mencapai lebih dari 5%. Kenaikan PTKP juga akan berdampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja dan bisa mencegah gelombang PHK,” ujar Said Iqbal.
Poin ketiga yang disoroti adalah terbatasnya penerima BSU hanya pada peserta BPJS Ketenagakerjaan.
Menurutnya, masih ada jutaan pekerja yang tidak tercatat dalam BPJS bukan karena kesalahan mereka, melainkan akibat pengusaha yang lalai atau melanggar aturan. Akibatnya, kelompok buruh yang paling rentan justru tidak tersentuh bantuan.
Catatan terakhir menyangkut mekanisme penyaluran dana. Dengan anggaran jumbo mencapai Rp10 triliun, ia menegaskan pentingnya akuntabilitas dan transparansi dalam pendistribusian.
Ia mendorong agar bantuan dikirim langsung dari rekening Kementerian Keuangan ke rekening penerima manfaat, tanpa perantara dari instansi lain seperti BPJS Ketenagakerjaan maupun Kementerian Ketenagakerjaan.
Menurutnya, data penerima bisa langsung diperoleh dari BPJS dan Kementerian Pendidikan, dan bantuan harus disalurkan non-tunai guna mencegah potensi kebocoran anggaran.
“Kami berharap pemerintah tidak berhenti pada kebijakan populis jangka pendek, tetapi benar-benar membangun sistem perlindungan yang adil dan inklusif bagi seluruh buruh, guru, dan tenaga honorer di Indonesia,” tegas Said Iqbal.
Pada intinya, program BSU yang dicanangkan pemerintah memang bertujuan membantu masyarakat pekerja, namun sejumlah kritik menunjukkan bahwa kebijakan ini belum menjangkau kelompok paling terdampak.
Melalui evaluasi menyeluruh dan perbaikan sistemik, bantuan sosial atau bansos seperti BSU diharapkan dapat menjadi bagian dari kebijakan jangka panjang yang lebih adil dan menyeluruh. (rpi)
Load more