Jakarta, tvonenews.com - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah mengatakan, bahwa kebijakan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen dapat menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
"Kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil, efisien, dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan," ujar Said dalam keterangannya, Senin (9/12/2024).
Dia menerangkan, meskipun ada penyesuaian tarif PPN, negara memastikan bahwa barang-barang yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat bebas dari PPN.
Di antaranya beras; gabah; jagung; sagu; kedelai; garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium; daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus; telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas.
Kemudian susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan atau dikemas atau tidak dikemas.
Serta sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.
"Selain barang-barang tersebut, semuanya dikenakan PPN menjadi 12 persen, termasuk pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), seperti kendaraan, rumah, dan barang konsumsi kelas atas," kata Said.
Hal itu bertujuan agar masyarakat dengan ekonomi kelas atas bisa berkontribusi lebih banyak terhadap penerimaan negara.
Meski begitu, ia mengamini kontribusi PPnBM terhadap penerimaan negara tidak terlalu signifikan, dengan rata-rata sebesar 1,3 persen sepanjang 2013-2022.
Artinya, bila PPN 12 persen hanya diterapkan pada barang mewah yang termasuk objek PPnBM, kemungkinan kurang mampu mendongkrak target penerimaan pajak 2025. Sementara kebijakan tersebut berpotensi berdampak terhadap daya beli masyarakat.
Oleh sebab itu, lanjut Said, Banggar DPR meminta pemerintah untuk menjalankan kebijakan mitigasi secara komprehensif.
Dia merekomendasikan delapan kebijakan yang dapat dipertimbangkan pemerintah. Pertama, menambah anggaran perlindungan sosial sambil menambah jumlah penerima dan memastikan penyalurannya tepat sasaran.
Kedua, subsidi bahan bakar minyak (BBM), listrik, dan LPG untuk rumah tangga miskin harus dipertahankan, termasuk kepada kelompok pengemudi ojek online (ojol).
Ketiga, memperluas subsidi transportasi kepada moda yang digunakan masyarakat sehari-hari. Keempat, subsidi perumahan perlu dipastikan dimanfaatkan oleh kelompok menengah bawah.
Kelima, mempertebal bantuan dan beasiswa pada perguruan tinggi. Keenam, melakukan operasi pasar rutin setidaknya dua bulan sekali untuk memastikan inflasi terkendali.
Ketujuh, menaikkan porsi belanja pemerintah untuk produk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Terakhir, memberikan program pelatihan dan pemberdayaan ekonomi untuk masyarakat terdampak agar mereka bisa masuk ke sektor yang berdaya saing. Bahkan, lanjut Said, Pemerintah juga bisa menyinkronkan kebijakan ini dengan penyaluran kredit usaha rakyat (KUR). (nba)
Load more