Jakarta, tvOnenews.com - Industri produk tembakau alternatif turut mempertanyakan wacana kebijakan rokok kemasan polos tanpa merek yang diusulkan dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK).
Kebijakan itu dirancang oleh Kementerian Kesehatan dan bertujuan untuk mengatur produk tembakau dan rokok elektronik alias vape atau vapor. Namun, banyak pihak merasa keberatan dengan rencana tersebut.
RPMK ini merupakan bagian dari upaya pengamanan terhadap produk tembakau dan rokok elektronik yang diprakarsai oleh Kemenkes.
Para pelaku industri merasa, aturan ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan serta Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 yang memiliki kekuatan hukum lebih tinggi dan tidak memberikan mandat untuk penerapan kemasan polos.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Garindra Kartasasmita, menyatakan kekhawatirannya terkait penerapan kebijakan ini.
Menurutnya, jika produk tembakau alternatif harus dikemas tanpa merek, hal tersebut berpotensi menciptakan masalah baru di masyarakat.
"Aturan polos hanya akan menambah masalah baru. Mayoritas negara-negara G20, khususnya yang lebih maju, tidak menerapkan kemasan polos untuk produk tembakau alternatif seperti rokok elektrik. Negara-negara tersebut hanya menerapkan peringatan berbentuk tulisan," katanya dikutip dari Antara, Kamis (12/9/2024).
Ia juga menekankan pentingnya bagi Kemenkes untuk lebih bijaksana dalam mempertimbangkan dampak potensial dari kebijakan ini.
Selain meningkatkan peredaran produk ilegal, aturan tersebut berisiko menurunkan pendapatan dari cukai dan memicu peningkatan prevalensi merokok di Indonesia.
Dalam pandangan yang serupa, Ketua Asosiasi Konsumen Vape Indonesia (Akvindo), Paido Siahaan, turut mengkritik wacana kebijakan ini.
Menurutnya, Kemenkes seharusnya memperhatikan hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang lengkap terkait produk yang mereka gunakan.
Menurut Paido, jika elemen merek dan informasi dihilangkan dari kemasan, konsumen tidak dapat mengakses informasi yang mereka perlukan untuk memilih produk dengan bijak.
Hal ini dinilai melanggar hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang jelas dan akurat.
"Jika dilihat dari perspektif konsumen dan pengurangan risiko, aturan kemasan polos tanpa perbedaan antara produk tembakau alternatif dan rokok konvensional bisa dikatakan tidak adil bagi perokok dewasa yang ingin beralih ke produk yang lebih rendah risiko," ungkap Paido.
Sejalan dengan Garindra, Paido juga menyoroti potensi meningkatnya peredaran produk ilegal jika kebijakan ini diterapkan. Produk ilegal, yang sering kali lebih murah dan tidak diawasi dengan ketat, dapat menimbulkan risiko kesehatan yang lebih besar serta beban bagi penegak hukum.
"Kebijakan yang diterapkan harus mempertimbangkan keseimbangan antara tujuan kesehatan masyarakat dan perlindungan hak konsumen, serta memberikan alternatif yang lebih baik bagi perokok dewasa," tambahnya.
Kemenkes menargetkan RPMK ini dapat diselesaikan pada minggu kedua September 2024, sebelum masa jabatan menteri berakhir. Aturan ini mengacu pada Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), meskipun Indonesia belum meratifikasinya.
Tantangan yang dihadapi oleh industri vape terkait kebijakan kemasan polos ini menjadi perdebatan yang perlu diperhatikan secara serius oleh pemerintah.
Di satu sisi, kesehatan masyarakat menjadi prioritas, namun di sisi lain, hak konsumen serta upaya untuk mengurangi dampak rokok konvensional melalui produk tembakau alternatif juga perlu dipertimbangkan dengan matang. (ant/rpi)
Load more