Lewat Perjanjian Giyanti, Paniradya Keistimewaan DIY Ajak Siswa Sinau Cikal Bakal Yogyakarta
- Tim tvOne - Tim tvOne
Hadiahnya adalah tanah di Sukowati yang sekarang ada di Sragen. VOC ketika meminta timbal jasa juga mengungkit sayembara karena terlalu luas untuk Mangkubumi maka seharusnya dikurangi.
Dua peristiwa besar inilah yang kemudian membuat Pangeran Mangkubumi bahwa VOC harus dilawan. Jadi perang Mangkubumen itu sebenarnya perlawanan Pangeran Mangkubumi terhadap VOC.
Karena dalam berbagai sumber lokal, kata Bahauddin, ketika Mangkubumi keluar dari Keraton Surakarta diberi sangu oleh kakaknya untuk berjuang.
Itu terjadi pada 1746 dimana kekuatan semakin besar dan meluas, hampir sepertiga wilayah Jawa terlibat lalu yang bisa mengalahkan keluasan Perang Mangkubumen hanya Perang Diponegoro.
Korban di kedua belah pihak sudah tidak terhitung dan VOC sadar sekali perang ini sangat menganggu aktivitas utama mereka untuk berdagang di Nusantara.
Oleh karena itu, ada pergantian gubernur yang mampu berkomunikasi dengan Pangeran Mangkubumi.
Akhirnya, terbukalah komunikasi melalui surat perantara sarip besar yang memberi kain kiswah, ka'bah yang sekarang menjadi pusaka di Keraton Yogyakarta yakni Tunggul Wulung. Kalo ada pagebluk, kain itu diarak keliling keraton.
Selanjutnya, pada 1754 September, ada perundingan pendahuluan di Salatiga yang kemudian disepakati beberapa aspek.
"Disepakatilah perjanjian itu akan dilakukan di tempat yang netral, di tengah antara Sukowati dan Surakarta dipilihlah Giyanti. Maka pengikutnya Mangkubumi ke Giyanti bangun pesanggrahan besar, ada pager, Alun-alun kecil termasuk tempat tinggal disitu, diapit dua sungai ini sumber Babat Giyanti. Nah di pendopo itulah dilakukan penandatanganan Giyanti, bukan di atas batu," terang Bahauddin.
Setelah Perjanjian Giyanti, lanjutnya, Mangkubumi ke Mataram. Namun, Raden Masaid yang masih melakukan pemberontakan tidak dilibatkan dalam Perjanjian Giyanti. Letaknya di Timur Giyanti atau sekitar Madiun.
Kemudian setelah mengetahui Giyanti kosong, terus diserang dan dibumihanguskan, makanya tidak ada peninggalan mengenai Pesanggarahan. Kemudian ditanam pohon preh yang menandai Perjanjian Giyanti.
Ketua Sekber Keistimewaan DIY, Widihasto Wasana Putra menyebut, ada 2 hal yang menarik dari Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755.
Pertama adalah peristiwa politik itu sendiri, dimana Dinasti Mataram terbagi 2 yaitu Kasunanan Surakarta dengan Rajanya Sunan Pakubuwana III dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Rajanya Pangeran Mangkubumi yang kemudian pada 13 Maret 1755 memproklamasikan Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat bergelar Sri Sultan Hamengku Buwana I.
Load more