Surabaya, tvOnenews.com – Penasihat hukum tiga terdakwa polisi hadirkan saksi a de charge (meringankan) dari Universitas Gajah Mada, Prof. Drs. Koentjoro, MBSc., Ph. D, Psikolog dalam sidang Tragedi Kanjuruhan ke 12 di Pengadilan Negeri Surabaya, Jumat (10/2).
Prof Drs Koentjono menerangkan tragedi kanjuruhan dari sisi psikologi massa. Menurut dosen psikologi tersebut, penonton yang hadir dalam laga Derby Jawa Timur antara Arema FC melawan Persebaya di Stadiun Kanjuruhan Malang, 1 Oktober 2022 dapat dibagi menjadi dua, yaitu massa abstrak dan massa konkrit.
“Penonton disini (laga Arema FC melawan Persebaya, red) dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu penonton konkrit dan penonton abstrak. Penonton konkrit yang isinya adalah penonton fanatik, dan penonton abstrak yaitu mereka yang datang hanya untuk rekreasional,” ujar Prof Koentjono.
Ia menjelaskan, perbedaan karakter massa ini mempengaruhi perilaku penonton yang hadir saat berakhirnya laga Arema FC melawan Persebaya, dengan kekalahan Arema FC. Suporter dari Arema FC yang kecewa dengan kekalahan tim kesayanganya, bereaksi dengan turun ke lapangan pasca pertandingan usai.
Prof Koentjono mengungkapkan penonton yang turun ke lapangan tersebut termasuk dalam massa konkrit. Hal tersebut dikarenakan massa tersebut memiliki tujuan yang sama.
“Yang turun ke bawah (lapangan, red), kemudian mudah tersulut, mereka adalah penonton yang konkrit. Penonton konkrit di kasus ini menyasar pemain lawan (Persebaya), namun karena pemain dilindungi polisi, akhirnya menyasar pemain-pemain Arema sendiri,” jelasnya.
Ia menilai para suporter yang menghampiri kiper Arema FC, Adilson Maringga adalah reaksi mereka atas kurang baiknya performa Adilson saat laga tersebut.
“Pemain yang dianggap harus bemain bagus, kok jelek. Kalo orang itu (kiper, red) dilindungi, akhirnya sasaran kemudian yang melindung (polisi, red). Akhirnya terjadi benturan antara polisi dan penonton,” terangnya.
Kemudian ia juga menyoroti waktu pertandingan yang di gelar pada malam hari. Ia menilai pertandingan yang digelar pukul 20.00 WIB tersebut, menyebabkan anominitas, massa yang tidak terlihat.
“Karena kalo malam hari indentitas seseorang tidak diketahui satu sama lain, itu tingkat kenekatannya semakin meraja lela. Kemudian apalagi, seperti tadi ada informasi ada yang meminum minuman keras, itu merupakan stimulan,” ungkapnya.
Maka dari itu, ia berharap agar pertandingan tidak dilakukan pada malam hari. Kemudian juga peran steward yang sangat fital sebagai penghalau massa agar jiwa massa tidak terbentuk. Karena jika jiwa massa terbentuk secara brutal, maka yang terjadi kericuhan seperti dalam tragedi Kanjuruhan.
Terkait respon dari aparat kepolisian yang menembakan gas air mata di dalam stadiun, Koentjono berpendapat bahwa anggota polisi yang bertugas semestinya sudah mengetahui prosedur pengendalian massa yang benar dalam menjalankan tugas.
“Seharusnya jika penggunakan senjata gas air mata dilarang, Panpel harus mengontrol dulu, kalau itu tidak boleh dipakek harus diberitahu dulu. Kalau itu sudah menjadi tradisi dan dilakukan tidak apa-apa, berarti hukum memperbolehkan. Dan jika itu dilarang harusnya sejak dulu tidak digunakan, karena polisi hanya pelaksana,” tegas dosen psikologi UGM.
Sidang periksaan saksi meringankan tiga terdakwa polisi tragedi Kanjuruhan sudah digelar sejak kemarin, Kamis (9/2) dengan menghadirkan 12 saksi dari pihak kepolisian dan satu dari aremanita. (gol)
Load more