“Pemain yang dianggap harus bemain bagus, kok jelek. Kalo orang itu (kiper, red) dilindungi, akhirnya sasaran kemudian yang melindung (polisi, red). Akhirnya terjadi benturan antara polisi dan penonton,” terangnya.
Kemudian ia juga menyoroti waktu pertandingan yang di gelar pada malam hari. Ia menilai pertandingan yang digelar pukul 20.00 WIB tersebut, menyebabkan anominitas, massa yang tidak terlihat.
“Karena kalo malam hari indentitas seseorang tidak diketahui satu sama lain, itu tingkat kenekatannya semakin meraja lela. Kemudian apalagi, seperti tadi ada informasi ada yang meminum minuman keras, itu merupakan stimulan,” ungkapnya.
Maka dari itu, ia berharap agar pertandingan tidak dilakukan pada malam hari. Kemudian juga peran steward yang sangat fital sebagai penghalau massa agar jiwa massa tidak terbentuk. Karena jika jiwa massa terbentuk secara brutal, maka yang terjadi kericuhan seperti dalam tragedi Kanjuruhan.
Terkait respon dari aparat kepolisian yang menembakan gas air mata di dalam stadiun, Koentjono berpendapat bahwa anggota polisi yang bertugas semestinya sudah mengetahui prosedur pengendalian massa yang benar dalam menjalankan tugas.
“Seharusnya jika penggunakan senjata gas air mata dilarang, Panpel harus mengontrol dulu, kalau itu tidak boleh dipakek harus diberitahu dulu. Kalau itu sudah menjadi tradisi dan dilakukan tidak apa-apa, berarti hukum memperbolehkan. Dan jika itu dilarang harusnya sejak dulu tidak digunakan, karena polisi hanya pelaksana,” tegas dosen psikologi UGM.
Sidang periksaan saksi meringankan tiga terdakwa polisi tragedi Kanjuruhan sudah digelar sejak kemarin, Kamis (9/2) dengan menghadirkan 12 saksi dari pihak kepolisian dan satu dari aremanita. (gol)
Load more