Sesukanya menyelewengkan amanah konstitusi dan mempermainkan rakyat dengan menunggangi alasan demokrasi. Seenaknya mengatur siapa yang menurut mereka pantas memimpin dan mengenyahkan yang tidak sejalan untuk memimpin bangsa dengan pelbagai kecurangan yang dibungkus rapi, terjadi di depan mata.
Dalam kitab suci agama manapun terdapat nasihat agar manusia tidak berbuat melampaui batas. Secara spesifik dalam agama Islam, perilaku melampaui batas ini disebut "ghuluw" yaitu sikap yang tercela. Ghuluw sama sekali tidak akan mendatangkan kebaikan bagi pelakunya; juga tidak akan membuahkan hasil yang baik dalam segala urusan.
Kembali ke Sambo dan Putri. Keduanya tidak akan lagi menikmati hak- hak istimewa sebagai pejabat negara. Tinggallah pengalaman traumatis itu dipikul dipundak tiga anak-anaknya yang masih remaja dan keluarga besarnya. Sewaktu Putri Chandrawati (49) bersama seorang anaknya dan pengacaranya, Minggu (7/8) malam mendatangi Mako Brimob di Kelapa Dua, pasti dia sudah merasakan tanda-tanda kejatuhannya. Dia menghadapi dunia sudah terbalik.
Di Mako Brimob itu, sehari sebelumnya, Sabtu (6/8) Irjen Pol Ferdy Sambo "disimpan" untuk masa 30 hari ke depan menunggu pemeriksaan selanjutnya. Malam itu Putri pulang dengan tangan hampa. Tidak diperkenankan untuk bertemu suaminya. Mungkin itu perlakuan pertama yang dia terima seumur hidupnya. Maklum, sebelum menikah dengan Sambo, ia adalah putri perwira tinggi TNI yang berpangkat bintang dua.
Menjelang pulang, Putri sempat berbicara kepada para wartawan yang melakukan doorstop. Putri menjawab wartawan sambil terisak-isak. Tentu tangisnya tidak hanya lantaran tidak bertemu suami, tapi tangis yang mengisyaratkan "The Glory Is Over". Kejayaan sudah berakhir.
Tragedi Sambo-Putri meninggalkan pelajaran kepada kita semua, terutama kepada para penguasa yang menjalankan amanah. Supaya tidak bertindak dan bersikap melampaui batas. Ingat selalu. Tuhan punya cara dan mekanisme yang dahsyat untuk memperingatkan kepada hambaNya yang melampaui batas.(chm)
Load more