Kiamat Media Sosial: Saat Remaja Australia Dipaksa Offline, Indonesia Masih Terjebak Scroll Tak Berujung
- Dok Freepick
Penulis: Budi Yuniharto, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Paramadina
Disclaimer: Artikel ini telah melalui proses editing yang dipandang perlu sesuai kebijakan redaksi tvOnenews.com. Namun demikian, seluruh isi dan materi artikel opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Di sebuah kota kecil di pinggiran Sydney, Emma Mason duduk di meja dapur yang sama tempat ia menerima panggilan terburuk dalam hidupnya tiga tahun lalu.
Telepon itu membawa kabar bahwa putrinya, Tilly, seorang gadis remaja berusia 14 tahun mengakhiri hidupnya setelah di-bully habis-habisan di Instagram.
Kini, pada Desember 2025, Emma menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk.
Undang-undang baru Australia yang mulai berlaku 10 Desember 2025 ini—tentang larangan akses media sosial bagi anak di bawah 16 tahun—adalah buah kampanyenya yang gigih.
"Ini bukan akhir dunia, tapi awal dari dunia yang lebih aman bagi mereka,” katanya dalam wawancara dengan Sky News dikutip Senin (8/12/2025).
Bagi remaja Australia, peraturan ini terasa seperti kiamat. Dunia maya yang selama ini menjadi ruangnya tiba-tiba direnggut.
TikTok, Instagram, Snapchat, YouTube—semua platform itu akan memblokir akun remaja di bawah umur.
Meta bahkan sudah mulai menutup akun anak-anak sejak minggu lalu, sementara YouTube menjanjikan akses kembali saat ulang tahun ke-16.
Pemerintah Australia menyebut langkah ini sebagai "eksperimen nasional terbesar" untuk melindungi kesehatan mental generasi muda di tengah data yang mengerikan, yakni lebih dari 40% remaja Australia (pada gadis usia 15-19 tahun) mengalami distress mental dengan lonjakan 70% rawat inap akibat self-harm sejak 2008.
Cyberbullying, perbandingan sosial, dan kecanduan algoritma menjadi musuh utamanya.
Seorang remaja bernama Sarah (15) membagikan pandangannya di X tentang “kiamat media sosial” ini.
"Media sosial adalah tempatku bicara dengan teman-teman yang paham perjuanganku. Tanpa itu, aku merasa sendirian”.
Fenomena ini bukan sekadar kebijakan teknologi, melainkan panggilan mendesak bagi manajemen media baru atau new media—yang selama ini dianggap sebagai jembatan koneksi kini terbukti sebagai jurang isolasi.
Di Australia, larangan ini lahir dari krisis nyata. Studi tahun 2023 menunjukkan screentime berlebih mengganggu perkembangan kognitif.
Load more