Mendorong Inklusi Jaminan Sosial bagi Pekerja Informal
- Julio Trisaputra-tvOne
Jakarta, tvOnenews.com - Di balik geliat ekonomi sektor informal Indonesia, terdapat jutaan pekerja yang berjibaku setiap hari untuk mencari nafkah tanpa jaminan akan masa depan mereka.
Mereka adalah nelayan yang menantang ombak demi sesuap nasi, buruh tani yang bekerja dari fajar hingga senja, pedagang keliling yang mengayuh sepeda di tengah terik matahari, sopir angkutan yang mengandalkan pendapatan harian, hingga pekerja lepas di sektor jasa kreatif.
Profesi-profesi ini kerap luput dari sorotan, namun sesungguhnya menjadi denyut nadi perekonomian bangsa.
Ironinya, ketika risiko menimpa—seperti kecelakaan kerja, sakit berkepanjangan, atau bahkan kematian—mereka dan keluarganya sering kali tak memiliki sandaran.
Tanpa perlindungan sosial, satu peristiwa tak terduga dapat menggerus habis penghasilan, meninggalkan keluarga dalam lingkaran kesulitan, bahkan kemiskinan baru.
Sektor Informal sebagai Penopang Ekonomi
Tidak dapat dipungkiri, sektor informal memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2023 menunjukkan, dari 147,7 juta angkatan kerja, sekitar 87,3 juta orang atau 59,1% bekerja di sektor informal. Angka ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh pekerja Indonesia berada di luar sistem kerja formal.
Namun, partisipasi mereka dalam jaminan sosial ketenagakerjaan masih sangat rendah. Berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan tahun 2024, jumlah peserta aktif dari kategori pekerja informal atau Bukan Penerima Upah (BPU) baru mencapai sekitar 10 juta orang.
Padahal, potensi peserta dari kelompok ini diperkirakan mencapai 101,8 juta orang. Artinya, lebih dari 60% pekerja informal masih hidup tanpa perlindungan sosial formal.
Perbandingan dengan negara lain di kawasan ASEAN pun memperlihatkan kesenjangan. Sebagai contoh, Thailand sejak lama menerapkan skema sukarela dengan subsidi pemerintah untuk pekerja informal, sehingga cakupan perlindungan sosial lebih luas.
Filipina pun melalui Social Security System (SSS) mengintegrasikan program tabungan wajib dan perlindungan dasar bagi pekerja lepas. Indonesia, meskipun memiliki landasan hukum yang jelas, masih berjuang memperluas kepesertaan dan mengatasi hambatan implementasi.
Hambatan yang Mengakar
Ada banyak faktor yang menjelaskan rendahnya partisipasi pekerja informal dalam program jaminan sosial.
Pertama, minimnya literasi jaminan sosial. Survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2022 menunjukkan tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia baru mencapai 49,68%. Angka ini meningkat dibanding 2019, tetapi masih rendah. Pekerja informal, khususnya di pedesaan, sering kali bahkan tidak mengetahui bahwa mereka memiliki hak untuk dilindungi.
Kedua, penghasilan yang tidak tetap membuat iuran dipandang sebagai beban. Seorang petani hanya memperoleh penghasilan saat panen, sementara nelayan bergantung pada musim dan cuaca. Bagi mereka, membayar iuran rutin bulanan bisa terasa berat.
Ketiga, belum ada skema subsidi yang masif dan berkesinambungan sebagaimana dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Banyak pekerja informal akhirnya hanya memiliki perlindungan kesehatan, tetapi tidak terlindungi dari risiko kecelakaan kerja, cacat, atau kehilangan pendapatan.
Kondisi ini sejatinya sesuai dengan temuan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dalam Recommendation No. 204 on the Transition from the Informal to the Formal Economy (2015). ILO menegaskan bahwa pekerja informal sering terjebak dalam apa yang disebut “missing middle”: mereka tidak cukup miskin untuk menerima bantuan penuh, tetapi juga tidak cukup stabil untuk mandiri membayar iuran jaminan sosial.
Risiko Kemiskinan Baru
Urgensi menghadirkan jaminan sosial bagi pekerja informal tidak bisa ditunda. Risiko kehilangan pendapatan akibat sakit, kecelakaan, atau kematian bukan hanya menimpa individu, tetapi juga mengguncang stabilitas keluarga dan masyarakat.
Bank Dunia (2022) mencatat, keluarga pekerja informal sangat rentan jatuh miskin kembali, bahkan setelah sempat naik kelas secara ekonomi. Tanpa perlindungan sosial, satu peristiwa tragis dapat menghapus capaian pembangunan manusia selama bertahun-tahun.
Selain itu, ketiadaan perlindungan sosial berpotensi menciptakan ketidakstabilan sosial yang lebih luas. Pekerja informal yang kehilangan penghasilan tanpa jaring pengaman cenderung bergantung pada bantuan sosial darurat, yang membebani fiskal negara.
Dengan kata lain, memperluas jaminan sosial bagi pekerja informal bukan hanya urusan keadilan sosial, tetapi juga strategi pembangunan ekonomi berkelanjutan.
Peta Jalan yang Menjanjikan
Dalam konteks ini, hadirnya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2023 tentang Peta Jalan Jaminan Sosial menjadi angin segar.
Perpres ini menegaskan visi pemerintah untuk mewujudkan jaminan sosial yang berkualitas, inklusif, dan berkelanjutan. Program yang dirancang mencakup jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, hingga jaminan kehilangan pekerjaan.
Namun regulasi, betapapun baiknya, tidak cukup jika tidak dibarengi langkah konkret di lapangan. Tantangan yang mengadang tidak sedikit.
Pertama, keterbatasan data pekerja informal membuat sulitnya perencanaan yang tepat sasaran.
Kedua, minimnya sosialisasi menyebabkan banyak pekerja tidak mengenal manfaat program.
Ketiga, iuran yang bersifat seragam masih kurang fleksibel untuk kelompok dengan penghasilan musiman.
Inovasi, Kolaborasi, dan Kehadiran Negara
Untuk menjawab tantangan tersebut, dibutuhkan pendekatan yang lebih kreatif dan inklusif. Inovasi dalam desain program, misalnya, dapat dilakukan dengan menyediakan opsi iuran musiman untuk petani atau nelayan, sehingga pembayaran bisa disesuaikan dengan siklus pendapatan mereka.
Skema berbasis komunitas juga penting, di mana koperasi, asosiasi profesi, atau kelompok usaha bersama menjadi penghubung bagi anggotanya untuk mendaftar dan membayar iuran secara kolektif.
Sejumlah daerah telah menginisiasi langkah konkret melalui program Perlindungan Pekerja Rentan (PERISAI) yang digulirkan BPJS Ketenagakerjaan bersama pemerintah daerah.
Program ini memberikan subsidi iuran bagi pekerja rentan sehingga mereka bisa memperoleh perlindungan dasar. Hasilnya cukup positif, ribuan pekerja di daerah terpencil kini bisa merasakan manfaat jaminan sosial.
Selain inovasi program, kolaborasi lintas sektor juga sangat penting. Pemerintah pusat tidak bisa bekerja sendiri. Dinas ketenagakerjaan, pemerintah desa, asosiasi profesi, hingga organisasi masyarakat sipil harus ikut terlibat dalam sosialisasi dan implementasi.
Di banyak tempat, komunitas lokal terbukti lebih efektif meyakinkan pekerja untuk bergabung, karena memiliki kedekatan sosial dan kepercayaan.
Namun lebih dari itu, negara harus menunjukkan kehadirannya secara nyata. Kehadiran yang bukan sekadar dalam bentuk regulasi atau sosialisasi, tetapi melalui kebijakan afirmatif yang benar-benar meringankan beban pekerja informal.
Belajar dari Thailand dan Filipina, subsidi iuran terbukti menjadi instrumen ampuh memperluas kepesertaan. Indonesia pun bisa mengambil pelajaran serupa dengan menyesuaikan kondisi fiskal.
Dengan inovasi yang tepat, kolaborasi lintas sektor yang erat, serta kehadiran negara yang konsisten, maka inklusi jaminan sosial bagi pekerja informal dapat diwujudkan.
Panggilan Moral dan Investasi Sosial
Menjadikan jaminan sosial sebagai hak dasar yang bisa diakses semua pekerja, termasuk sektor informal, bukan hanya akan memperkuat jaring pengaman sosial.
Lebih dari itu, ia akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja, memperkuat daya saing ekonomi, serta memperkokoh stabilitas sosial bangsa.
Dalam jangka panjang, inklusi jaminan sosial adalah investasi sosial. Negara-negara yang berhasil membangun sistem jaminan sosial universal terbukti memiliki tingkat ketahanan ekonomi lebih baik dalam menghadapi krisis.
Pandemi COVID-19 adalah bukti nyata: negara dengan cakupan perlindungan sosial lebih luas mampu meredam dampak sosial-ekonomi lebih efektif dibanding negara dengan sistem terbatas.
Bagi Indonesia, memperluas jaminan sosial bagi pekerja informal bukanlah sekadar pilihan kebijakan. Ia adalah panggilan moral dalam membangun masyarakat yang adil, sejahtera, dan berkeadaban.
Negara hadir bukan sekadar dengan retorika, tetapi dengan sistem yang melindungi warganya di setiap fase kehidupan.
Karena itu, agenda inklusi jaminan sosial harus diposisikan sebagai prioritas nasional. Tidak hanya untuk memenuhi mandat konstitusi, tetapi juga sebagai investasi dalam membangun masa depan bangsa yang lebih kokoh dan berdaya saing.
Penulis: Anggota Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan Yayat Syariful Hidayat
Disclaimer: Artikel ini telah melalui proses editing yang dipandang perlu sesuai kebijakan redaksi tvOnenews.com. Namun demikian, seluruh isi dan materi artikel opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Load more