Menguliti Pemberian Abolisi dan Amnesti dalam Konteks Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
- istimewa
tvOnenews.com - Bulan Agustus selalu menghadirkan nuansa yang unik untuk masyarakat Indonesia. Setiap tahun, kita merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, sebuah peristiwa historis yang menandai kelahiran bangsa yang bebas dan berdaulat.
Pada tahun 2025 ini, perayaan kemerdekaan akan berusia 80 tahun, menjadi pengingat yang signifikan tentang usaha gigih para pahlawan dalam merebut kebebasan dari penjajahan.
Pemerintah pun akan meluncurkan program diskon belanja hingga 80 persen dan diskon tarif transportasi publik sebesar Rp 80,- dalam rangka memeriahkan bulan kemerdekaan Republik Indonesia ke-80 ini.
“Kemeriahan” yang tak kalah penting dalam menyambut HUT RI ke-80 tahun ini yakni ketika Pemerintah dan DPR pada tanggal 31 Juli 2025 menyampaikan ke hadapan publik tentang pemberian abolisi terhadap Tom Lembong dan amnesti terhadap Hasto Kristiyanto.
Sebagaimana diketahui bahwa keduanya saat ini sedang menjalani proses pengadilan dalam dugaan tindak pidana korupsi.
Isu ini semakin menambah “kemeriahan” peringatan hari kemerdekaan kali ini karena menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat atas kebijakan Pemerintah dan DPR tersebut.
Polemik terhadap pemberian abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto di tengah masyarakat adalah sebuah hal yang lumrah pada masyarakat yang demokratis karena sebagai bentuk checks and balances.
Pun sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 7/PUU/IV/2006 yang menegaskan bahwa pemberian abolisi dan amnesti bukanlah tindakan administratif semata, melainkan tindakan hukum bersifat konstitusional yang wajib memperhatikan prinsip checks and balances.
Oleh karenanya penulis mencoba menyampaikan pandangan terhadap abolisi dan amnesti dalam konteks hukum Indonesia masa kini, sebagai upaya agar pembangunan hukum di Indonesia semakin baik, adil, dan efektif, yang selaras dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Sejarah Regulasi Abolisi dan Amnesti di Indonesia
Abolisi dan amnesti bukanlah upaya hukum biasa, melainkan instrumen hukum luar biasa (extraordinary legal remedy) yang berada di tangan Presiden sebagai Kepala Negara, yang merupakan salah satu hak prerogatif Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (2) pada Amandemen Pertama UUD 1945.
Sebagai peraturan pelaksana, yang menjadi rujukan dalam pemberian abolisi dan amnesti dalam sistem hukum Indonesia hingga saat ini adalah Undang-undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 (UU Drt 11/1954).
Adapun UU Drt 11/1954 merupakan peraturan pelaksana dari Pasal 96 dan 107 UUD Sementara 1950, yang sudah tidak berlaku lagi sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno.
Dan hingga saat ini belum ada peraturan pelaksana dari Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 dan UU Drt 11/1954 yang mengatur lebih detil mengenai tata cara maupun persyaratan pemberian abolisi dan amnesti.
Selain itu, apabila ditelaah secara objektif, di dalam batang tubuh UU Drt 11/1954 tidak memberikan definisi yang eksplisit mengenai abolisi dan amnesti.
Bahkan di dalam UU Drt 11/1954 pun tidak menjelaskan kriteria siapa saja yang berhak mendapatkan Abolisi dan Amnesti.
Namun hanya mengatur mengenai kewenangan Presiden memberikan Abolisi dan Amnesti setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3.
Selain itu mengatur konsekuensi yuridis yakni dengan pemberian Amnesti maka semua akibat hukum pidana terhadap para pelaku dalam Pasal 1 dan Pasal 2 dihapuskan, sedangkan dengan pemberian Abolisi maka penuntutan terhadap para pelaku dalam Pasal 1 dan Pasal 2 ditiadakan, sebagaimana diatur Pasal 4 dan penjelasan.
Kemudian suasana kebatinan yang melatar belakangi lahirnya UU Drt 11/1954 dan Adresat saat dikeluarkannya ditujukan kepada para pelaku tindak pidana yang mengganggu keamanan negara dan kejahatan politik.
Definisi kejahatan politik adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berbeda pendapat dengan pemerintah atau penguasa (Hendardi, 2017).
Catatan pemberian abolisi dan amnesti terhadap pelaku pidana yang dianggap mengganggu keamanan negara dan kejahatan politik dapat dilihat pada masa kepemimpinan Presiden sebelumnya. Presiden Soekarno pada tahun 1962 memberikan abolisi kepada Daud Beureuh dan para pengikutnya dalam kelompok DI/TII.
Presiden Soeharto pada tahun 1977 melalui Keputusan Presiden Nomor 63 tahun 1977 memberikan amnesti dan abolisi kepada para pengikut Gerakan Fretilin di Timor Timur.
Presiden Habibie melalui Keppres nomor 80 tahun 1998 memberikan amnesti dan abolisi kepada Sri Bintang Pamungkas yang saat itu dianggap melanggar undang-undang anti subversif dengan membentuk Partai Uni Demokrasi Indonesia, dan kepada Muchtar Pakpahan yang saat itu dipenjara karena menulis buku berjudul Potret Negara Indonesia.
Kemudian Presiden Gus Dur lewat Keppres nomor 159 tahun 1999 memberikan amnesti kepada Budiman Sujatmiko karena mendeklarasikan pendirian Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan Gus Dur lewat Keppres nomor 93 tahun 2000 memberikan abolisi kepada Sawito Kartowibowo yang dijatuhi hukuman pidana karena menyampaikan wangsit bahwa politik negara Indonesia harus dibenahi.
Lalu Presiden SBY melalui Keppres nomor 22 tahun 2005 memberikan amnesti dan abolisi kepada pengikut Gerakan Aceh Merdeka.
Dari deretan pemberian abolisi dan amnesti yang pernah dilakukan di masa Presiden sebelumnya, belum pernah abolisi dan amnesti diberikan terhadap orang atau kelompok yang diduga melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam pemberian abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto.
Politik Hukum Pemberian Abolisi dan Amnesti
Indonesia sebagai negara yang berdasar atas hukum, maka dalam melaksanakan kehidupan bernegara harus sesuai dengan prinsip Rule of Law, not a man.
Artinya pemerintahan dijalankan oleh hukum sebagai sebuah sistem, bukan dijalankan oleh indvidu per individu yang hanya bertindak sebagai wayang dari sistem yang mengaturnya.
Termasuk pula pemberian abolisi dan amnesti yang dilakukan oleh Presiden dalam kapasitasnya sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Sebagaimana pandangan F.J. Stahl yang menekankan bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh negara atau penyelenggara negara harus sesuai dengan hukum yang berlaku.
Meskipun pemberian abolisi dan amnesti secara konstitusional merupakan hak prerogatif Presiden, yang bersifat mandiri dan mutlak sebagaimana dijelaskan secara teoritis dalam Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 22/PUU-XIII/2015, namun dalam implementasinya tidak boleh melanggar prinsip due process of law dan non-diskriminatif sebagaimana digariskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 31/PUU-VIII/2010.
Apabila disandingkan antara prinsip negara hukum dan instrumen hukum dalam pemberian abolisi dan amnesti yang ada saat ini, maka sudah selayaknya Pemerintah dan DPR segera merampungkan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi yang mandek sejak tahun 2022, untuk disahkan menjadi Undang-Undang.
Hal ini penting mengingat suasana kebatinan dan Adresat dalam UU Drt 11/1954 ditujukan dalam konteks tindak pidana yang mengganggu keamanan negara dan kejahatan politik, bukan tindak pidana korupsi.
Selain itu, dengan adanya Undang-Undang baru yang menggantikan UU Drt 11/1954, maka dapat menjawab kekuatiran masyarakat atas penyalahgunaan hak prerogatif Presiden untuk memberikan impunitas kepada pelaku dalam ranah tindak pidana korupsi. Serta menjadi momentum due process of law yang adil dan beradab di Hari Ulang Tahun Indonesia yang ke-80 tahun.
Penulis: Ferdiyan Ganesha, S.H., M.H., C.L.A. (Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Riau)
Disclaimer: Artikel ini telah melalui proses editing yang dipandang perlu sesuai kebijakan redaksi tvOnenews.com. Namun demikian, seluruh isi dan materi artikel opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. (aag)
Load more