Baiknya saya jelaskan awal mula saya terlibat dengan tim yang kini berlaga di kompetisi liga empat seri dua. Sebelumnya saya tak pernah membayangkan bakal mengurusi sebuah klub sepak bola dan segala tetek bengeknya.
Saya memang suka dengan segala drama yang terjadi seputar si kulit bundar. Agaknya soal ini semua teman saya sudah mahfum. Saya punya klub favorit, Manchester City yang bagaimanapun penampilannya di Liga Inggris selalu akan saya bela. Saya juga selalu menyempatkan datang ke stadion jika timnas sedang berlaga. Namun, jika kemudian pada satu fase hidup saya harus mengurusi dan bertanggungjawab pada eksistensi sebuah klub sepak bola sungguh di luar prediksi saya.
Soalnya saya tahu benar, mengelola klub sepak bola bukan perkara mudah, tak bisa dikelola sambil lalu, apalagi paruh waktu. Ia mensyaratkan militansi dan totalitas. Selain finansial, emosional, ego juga sangat memainkan peranan.
Namun, demikian, pada akhirnya saya menyerah ketika sejumlah teman masa kecil meminta saya mengelola klub yang sudah hampir karam tersebut. Saya akhirnya mengiyakan karena saya pernah jadi fans klub yang telah berusia 21 tahun itu. Saya merasa punya ikatan sejarah, memori kolektif dan arsiran pengalaman yang sama dengan Persikotas.
Rasanya belum lama saya ikut mengelu elukan klub kebanggaan kota Tasikmalaya ini ketika menjadi Juara Liga 3 Liga Indonesia pada 1998 atau Juara Liga Nusantara Jawa Barat pada 2016. Tak ayal, saya merasa sejarah Persikotas adalah sejarah pertumbuhan saya sebagai warga Tasikmalaya. Apalagi ternyata klub ini masih punya basis pendukung yang loyal. Beberapa kali bertemu dengan pengurus lama untuk membahas menghidupkan lagi klub dari mati surinya yang berkepanjangan, saya berhadapan dengan supporter yang setia, mereka mereka yang berperan sebagai layaknya pemain ke 13 di stadion.
Load more