Opini - Tuduhan monopoli terhadap PT Pertamina (Persero) dalam penyediaan avtur belakangan ini (kembali) menjadi sorotan publik.
Meski tuduhan miring tersebut adalah “lagu lawas” yang sering diputar ulang -setidaknya dalam 5-6 tahun terakhir-.
Namun edukasi perihal bisnis avtur kepada masyarakat luas tetap perlu didengungkan agar tidak termakan isu negatif atau mengalami gagal paham atas kondisi aktual yang sedang terjadi.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang pada 26 September 2024 kemarin telah mengeluarkan press release nomor 84/KPPU-PR/IX/2024 tentang penyelidikan terhadap anak usaha Pertamina yakni PT Pertamina Patra Niaga (PPN).
PPN diduga melakukan praktik monopoli dan penguasaan pasar penyediaan Avtur. Faktanya, pasar avtur di Indonesia bukanlah monopoli.
Selain Pertamina terdapat sejumlah perusahaan swasta yang mengantongi Izin Usaha Niaga Migas dengan Komoditas Avtur seperti PT AKR Corporindo Tbk, PT Dirgantara Petroindo Raya (JV AirBP-AKR), dan PT Fajar Petro Indo.
Persaingan yang sehat telah tercipta sejalan dengan regulasi ketat pemerintah. Jika ditelaah lebih dalam, tuduhan monopoli justru lebih mengarah pada upaya pengalihan isu dari masalah utama yang sedang dihadapi industri penerbangan nasional, yakni dugaan praktik kartel maskapai penerbangan dan beban pajak yang tinggi nan beragam.
Harga Kompetitif dan Rantai Pasok Kompleks
Dalam siaran pers tersebut KPPU secara gamblang menyatakan adalah sebuah fakta bahwa harga avtur yang dipasok Pertamina adalah tertinggi di Asia Tenggara. Tuduhan bahwa harga avtur Pertamina tertinggi di Asia Tenggara merupakan fitnah tak berdasar.
Pasalnya harga avtur Pertamina kompetitif dan mengikuti aturan yang dikeluarkan Pemerintah yakni Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 17 K/10/MEM/2019 tentang Formula Harga Dasar Dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Avtur Yang Disalurkan Melalui Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU).
Penetapan harga juga mempertimbangkan demand volume atas frekuensi pergerakan pesawat dari tiap-tiap airport serta mempertimbangkan formula Mean of Plats Singapore (MoPS) yang menjadi patokan harga pasar terdekat.
Terlebih Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 13 September 2024 lalu juga angkat bicara membantah pernyataan harga avtur Indonesia termahal di antara negara-negara ASEAN lainnya.
Bila dibanding publish price avtur per liter di negara-negara yang memiliki landskap geografis mirip Indonesia, harga publikasi avtur Pertamina justru didapati setara dan lebih rendah.
Sebagai contoh harga avtur PPN periode 1-30 September ini sebesar Rp 13.211 per liter, sedangkan harga avtur di Singapura pada periode yang sama mencapai Rp 23.212 per liter.
Meski demikian, harga avtur sejatinya dipengaruhi banyak faktor, termasuk harga minyak mentah dunia, biaya transportasi, kurs dollar, dan taxes.
Membandingkan harga avtur antar negara tanpa mempertimbangkan faktor-faktor tersebut merupakan perbandingan tak apple-to-apple. Apalagi rantai pasok avtur di Indonesia lebih kompleks dibanding negara lain.
Fitnah yang Mengaburkan Inti Masalah
Pemerintah Indonesia telah menetapkan berbagai regulasi yang bertujuan menciptakan iklim usaha sehat dan mencegah praktik monopoli di sektor energi, termasuk sektor avtur.
Peraturan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) No. 13/P/BPH Migas/IV/2008 tentang Pengaturan dan Pengawasan atas pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian bahan bakar minyak penerbangan di bandar udara menjadi salah satu aturan acuan PPN dalam penyediaan avtur di 72 DPPU tersebar di seluruh Nusantara.
Selain regulasi-regulasi di atas, terdapat pula penugasan oleh Pemerintah kepada Pertamina untuk memasok avtur di bandara-bandara tertentu, terutama di daerah terpencil.
Penugasan tersebut bertujuan memastikan ketersediaan avtur di seluruh wilayah Indonesia dan mendukung pengembangan daerah.
Implikasinya, Pertamina tak hanya fokus melayani penyediaan avtur pada bandara besar, namun juga bandara-bandara kecil/perintis yang secara komersial tidak profitable sebab rendahnya tingkat permintaan.
Mungkin atas pertimbangan inilah pada Bab II pasal 3 ayat 3 peraturan BPH Migas diatas meregulasikan bahwa Pemerintah mewajibkan badan usaha yang melaksanakan penyediaan avtur penerbangan untuk mengutamakan produksi kilang dalam negeri (baca: Pertamina).
Celakanya pasal 3 ayat 3 itu dianggap KPPU tidak memihak ke pihak swasta dan menghalangi persaingan sehat, dimana dalam aturan BPH itu persyaratan diatur sedemikian ketat sehingga memosisikan Pertamina lebih unggul di bidang usaha penjualan avtur di Indonesia.
Inilah sumber munculnya tuduhan dugaan monopoli terhadap Pertamina. Oleh karenanya tak heran jika baru-baru ini atas nama persaingan sehat, KPPU mendesak agar BPH Migas merevisi peraturan No. 13/2008 tersebut guna membuka ruang multiprovider avtur dan menghapus monopli Pertamina.
Menarik untuk dicatat bahwa Ketua KPPU saat ini adalah mantan Ketua BPH Migas yang telah 8 tahun berkarya disana.
Selama masa jabatannya di BPH Migas, beliau tentu sangat memahami proses bisnis avtur Pertamina dan regulasi-regulasi yang berlaku.
Bila sekarang KPPU menuding Pertamina melakukan praktik monopoli dan meminta agar BPH Migas merevisi aturan penyediaan avtur, hal ini tentu aneh dan menimbulkan pertanyaan besar.
Apakah selama ini direksi Pertamina tak mampu menjaga komunikasi dan hubungan baik yang telah lama terjalin dengan mantan Ketua BPH Migas?
Atau apakah mungkin KPPU telah ditunggangi kepentingan kelompok tertentu, seperti pengusaha avtur swasta dan maskapai penerbangan yang ingin menguasai pasar avtur dengan cara-cara tak sehat?
Pertanyaan ini perlu dijawab terbuka dan transparan oleh KPPU.
Tuduhan monopoli terhadap Pertamina dalam penyediaan avtur adalah sebuah upaya sistematis untuk mengalihkan perhatian publik dari masalah yang jauh lebih serius: dugaan praktik kartel yang merajalela di industri penerbangan nasional.
Alih-alih fokus pada perusahaan energi nasional yang telah terbukti berkomitmen terhadap persaingan sehat, KPPU justru terjebak dalam sebuah permainan yang dirancang melindungi kepentingan segelintir pemodal besar di sektor penerbangan.
Meski telah berlaku persaingan terbuka dimana perusahaan swasta dapat turut dalam tender/lelang pemerintah untuk mendapatkan hak pasok avtur di bandara-bandara tertentu; dan walaupun pemerintah telah melakukan evaluasi berkala terhadap kinerja penyedia avtur (termasuk Pertamina), namun tuduhan monopoli avtur Pertamina tetap gencar disuarakan.
Setidaknya ada beberapa kemungkinan motif yang mendasari gencarnya isu monopoli.
Pertama, motif persaingan bisnis. Perusahaan swasta yang bermain di bisnis avtur mungkin merasa tertekan atas dominasi Pertamina yang memiliki sarfas penunjang dan penyimpanan avtur terlengkap melayani banyak DPPU.
Untuk mengurangi tekanan persaingan dan agar sarfas milik Pertamina dapat dimanfaatkan bersama oleh pihak swasta (memakai skema open access & toll fee untuk sarfas pipa; dan untuk sarfas storage tank menggunakan skema co-mingle) lantas disebarkanlah isu monopoli guna melemahkan posisi Pertamina.
Dengan begitu pihak swasta dapat berbisnis avtur tanpa perlu berinvestasi besar membangun sarfas sendiri. Cukup pakai sarfas Pertamina.
Disamping itu perusahaan penerbangan mungkin merasa harga avtur yang ditetapkan oleh Pertamina terlalu tinggi.
Dengan menuding Pertamina melakukan monopoli, publik dan banyak pihak diharapkan dapat mendesak Pertamina untuk mengevaluasi dan memangkas harga avtur.
Kedua, motif politis. Keberadaan BUMN seringkali dipakai sebagai alat politis guna menekan pemerintah atau pihak-pihak tertentu yang dianggap berkuasa.
Isu monopoli dapat dipakai untuk mengalihkan perhatian publik dari masalah-masalah lain yang lebih kompleks, seperti rusaknya demokrasi, masalah ekonomi, atau ketimpangan sosial.
Ketiga, motif ketidakpahaman. Salahpaham memahami peran BUMN. Pertamina sebagai BUMN memiliki peran strategis dalam menjaga pemerataan penyediaan avtur dan ketahanan energi nasional.
Pihak tertentu mungkin tak memahami peran strategis ini. Atau memahami namun tak peduli. Perlakuan khusus dalam regulasi serta privilege yang didapat sebab melaksanakan penugasan pemerintah disalahartikan sebagai bentuk monopoli.
Back On The Right Track
KPPU sebagai lembaga pengawas persaingan usaha memiliki peran penting dalam mengungkap praktik-praktik yang merugikan konsumen.
KPPU dapat memberikan kepastian hukum bagi seluruh pelaku usaha di sektor penerbangan, serta melindungi kepentingan konsumen dengan melakukan hal-hal berikut.
Pertama, perkuat pengawasan terhadap Maskapai. KPPU perlu meningkatkan pengawasan terhadap praktik bisnis maskapai penerbangan, khususnya terkait dengan dugaan praktik kartel.
Kedua, lindungi konsumen. KPPU perlu mengambil langkah-langkah konkrit untuk melindungi konsumen dari praktik bisnis yang tak sehat semacam kartel.
Langkah tersebut dapat berupa koordinasi dengan lembaga pemerintah maupun institusi terkait serta mendorong seluruh pelaku usaha sektor penerbangan (termasuk maskapai dan penyedia avtur) untuk meningkatkan transparansi dalam menjalankan bisnisnya.
Ketiga, berhentilah menghembuskan isu/wacana tak produktif. Lakukan penyelidikan holistik dan objektif pada pelaku usaha penerbangan.
Jangan terjebak dalam permainan yang merancang perlindungan bisnis justru untuk kepentingan kelompok elit tertentu di bisnis penerbangan.
Penulis mendesak KPPU untuk fokus pada masalah yang sebenarnya dan menghentikan upaya-upaya menjatuhkan BUMN penyedia avtur yang justru telah banyak berjasa bagi bangsa dan negara.
Sudah saatnya KPPU kembali ke jalur yang benar dan fokus pada perlindungan konsumen.
Dengan mengungkap praktik kartel di antara maskapai penerbangan kita dapat menciptakan pasar penerbangan yang lebih kompetitif, efisien, dan menguntungkan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Opini ini ditulis oleh General Manager Region Jatim Balinus - CENITS (Centre for Energy and Innovation Technology Studies) Raden Muhsin Budiono.
Load more