Jakarta - Sebagai praktisi komunikasi yang bekerja di perusahaan perkebunan kelapa sawit, saya sering memanfaatkan kesempatan berdiskusi di hadapan mahasiswa untuk memeriksa sejauh mana persepsi mereka tentang komoditas yang menjadi core business tempat saya bekerja.
Sebagian besar positif. Tapi pernah pula saya temui mahasiswa yang mengutip berita dengan isi yang menggugat tata kelola tanaman yang tumbuh subur di Indonesia ini.
Di antara beragam opini kontradiktif yang bertebaran di media massa, mana yang harus dipercaya publik?
Ini tentu bukan sekadar pertanyaan yang ingin memastikan perihal benar dan salah. Jawaban yang diberikan harus komprehensif. Sebab, implikasinya sangat panjang. Tidak semata-mata persoalan image dan reputasi industri kelapa sawit Indonesia. Strategi pembangunan nasional bisa dikoreksi.
Apalagi sekarang ini tengah dirumuskan roadmap atau peta jalan pembangunan industri kelapa sawit nasional, senafas dengan keinginan Presiden Joko Widodo bahwa kelak sektor komoditas unggulan ini setop mengekspor bahan mentah (Crude Palm Oil/CPO). Di balik keinginan itu tentu ada harapan agar hilirisasi industri kelapa sawit bisa memberi added value dan memperkuat dampak positif terhadap neraca perdagangan Indonesia.
Ketika merenung-renungkan pertanyaan seputar kebenaran dalam industri kelapa sawit, ingatan saya melambung pada buku lama yang ditulis Peter Ludwig Berger, Social Contructions of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. Buku lawas yang ditulis sosiolog Amerika tahun 1966 bersama sosiolog Jerman bernama Thomas Luckmann ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan sangat baik oleh Hasan Basari. Diterbitkan LP3ES tahun 1990 dengan judul "Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan".
Teorinya masih sangat relevan. Sebagai pisau analisis, pendekatan yang digunakan masih tajam membedah fenomena era post truth seperti sekarang.
Load more