Keseluruhan proses ini berlangsung secara simultan dan terus menerus. Dialektikanya dipicu oleh karakter dasar manusia sebagai makhluk sosial (organisme) yang mau tak mau pasti berinteraksi dengan sesama maupun alam semesta.
Interaksi-interaksi itu kemudian melahirkan kesadaran. Dalam tahap eksternalisasi, maka nilai-nilai, norma, etika, dan segala bentuk maupun cara dalam memperlakukan individu lain serta alam sekitar (termasuk kelapa sawit) terekam dan menjadi pengetahuan individu. Obyektivasi berlangsung ketika pengetahuan individual itu bertemu dengan pengetahuan individu lainnya.
Maka, tidak perlu heran ketika petani-petani kelapa sawit memahami komoditas yang ia budidayakan sebagai realitas yang baik dan bermanfaat. Pemerintah kabupaten yang wilayahnya mekar serta berkembang pesat tentu merekam dalam ingatan mereka tentang begitu banyak dampak positif perkebunan kelapa sawit bagi kesejahteraan masyarakat. Begitu juga dengan konfirmasi dari pemerintah pusat yang melihat langsung betapa devisa negara menjadi sehat berkat ekspor kelapa sawit ke pasar global.
Sebaliknya, pemahaman berbeda mungkin saja muncul pada individu-individu lain. Semua bergantung pada interaksi dan pengalaman-pengalaman kongkrit mereka ketika bersentuhan dengan kelapa sawit, individu-individu lain dan alam sekitar mereka. Mungkin saja opini mereka tentang tanaman menjadi sangat negatif.
Penjelasan Berger dan Luckmann ada di ranah ilmu sosiologi. Kendati begitu, kajian komunikasi berada di posisi yang tak kalah penting. Eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi berlangsung melalui perantaraan berkat kemampuan manusia berkomunikasi.
Bahasa, menurut Berger dan Luckmann, “merupakan instrumen pokok untuk menciptakan realitas”, seperti ditulis Alex Sobur yang mengutip disertasi Ibnu Hamad yang berjudul “Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-Berita Politik”.
Di dalam studinya yang mengaitkan paradigma konstruksi sosial dengan media itu, Hamad sampai pada kesimpulan bahwa seluruh isi media, tiada lain merupakan realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality). Pembuatan berita di media, menurutnya seperti ditulis Sobur, pada dasarnya adalah menyusun realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita atau wacana yang bermakna.
Load more