Politik Melodrama vs Politik Gagasan
- tim tvonenews
INDONESIA tak akan bergerak dengan melodrama, tapi apa boleh buat, hari hari ini kehidupan politik didominasi dan digerakkan oleh para king maker yang mengolah politik seperti sutradara sinetron.
Dalam hidup yang monoton, penuh ketidakpastian, melodrama memang akan melupakan masyarakat dari problem utamanya: kesulitan hidup.
Saya ingat, bagaimana orang orang miskin di India melupakan himpitan ekonomi, mereka mengantre tiket bioskop yang berhasil dibelinya dengan cara apa saja ----termasuk menjual darahnya di rumah sakit, asalkan dapat bermimpi menonton bintang pujaanya menari dan berkasih kasihan di bioskop.
Sebab, masyarakat bawah tahu, politik hanya jadi soal yang rutin, seremoni prosedural lima tahunan yang tak mengubah nasibnya. Akhirnya sihir melodrama adalah cara instan mengalihkan perhatian publik dari persoalan penting dan substansial.
Dan dengan mahir, presiden yang menyutradarainya ---kini tengah berperan sebagai king maker, menyiapkan kemenangan untuk mantan rival dan anaknya--- mengritik budaya yang sebenarnya ikut disuburkan oleh dirinya: melodrama.
Misalnya dalam pengundian nomor urut pasangan capres cawapres Selasa (14/11/2023) pekan lalu, dua orang anak Presiden yang tiba tiba masuk di jajaran elit nasional itu, entah dengan kewajaran atau sebuah desain politik, tiba-tiba sungkem pada Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri.
Proses terlihat normal, alamiah, mulus sebagai unggah ungguh budaya Timur. Penghormatan sorang eks kader pada mantan atasannya di partai politik.
Esoknya narasi melodrama disebarkan oleh para pendengung (buzzer). Gambar gambar dramatik beredar, bahwa sang tokoh senior menampik permohonan sumkem dari anak anak muda. Sebuah pameran kesombongan sedang dipertontonkan. Dan Gibran-Kaesang adalah tokoh protagonis yang akan melawan antagonisme tokoh tokoh tua.
Penonton bertepuk, konstituen terbelah, dengan segera dipaksa mendukung salah satu pihak. Terutama ‘tokoh baik’, ‘berbudi pekerti’ segera mendapatkan simpati.
Demikian, seperti dalam cerita berlarat-larat sinetron atau opera sabun, kita tak mendapatkan karakter kuat yang meyakinkan, yang dibentuk dari perjalanan, sejarah, konflik pribadi (inner) sang tokoh sendiri, tapi hanya dari situasi pertentangan tokoh dengan orang lain. Pertentangan antara si jahat dengan si baik, perlawanan si baik melawan situasi menindas, perjuangan moral melawan kesombongan. Cerita kodian yang hitam putih. Publik dianggap tak memiliki nalar kritis, maka dijejali cerita berselera rendah yang berulang ulang setiap lima tahunan.
Load more