Ban Serep
- tim tvone
Dari liputan media elektronik, kita melihat wajah sang Ketua Umum Partai, Airlangga Hartarto nampak tak sumringah ketika memberikan Surat Keputusan pada Gibran Rakabuming Raka.
(Gibran Rakabuming Raka didaulat menjadi bakal cawapres oleh Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartarto. Sumber: tim tvonenews/Julio)
Jusuf Kalla menyebut pilpres 2024 sangat rumit dalam penentuan wakil presiden karena adanya rasa “pemilu sayang anak.” Sebelum skenario Gibran yang sukses, ada drama AHY yang berakhir antiklimaks.
Demikianlah, semua energi bangsa belakangan seperti hanya tercurah pada perkara calon presiden. Padahal, kita tahu dalam sistem presidensial yang kelak menentukan apapun juga adalah sang nomor satu (presiden). Sang nomor dua akan seketika lenyap setelah dilantik sebagai wakil presiden. Pernyataan pernyataan yang tadinya ‘seksi” bagi media akan langsung hilang dari laman-laman pemberitaan.
Berbeda dengan sistem parlementer, wakil presiden dalam sistem presidensial adalah sosok yang harus menyingkir ketika presiden ada. Presiden ibarat matahari, kita tak pernah bicara ada matahari kembar. Yang ada hanya satelit yang berputar mengelilingi sang pusat: matahari.
Di hadapan pusat: presiden, semua pribadi kuat akhirnya harus meluruh. Jusuf Kalla yang dua kali menjadi wakil presiden, tokoh yang dikenal bekerja cepat dan cermat. Akronim JK sering disebut sebagai: Jalan Keluar. Tokoh kuat ini “hilang” ketika menjadi “orang nomor dua. Wakil presiden lain tentu tak kita harap akan terdengar: Boediono, Ma’ruf Amin atau Megawati (saat jadi pendamping Abdurrahman Wahid).
Apa boleh buat era kepemimpinan nasional dwi tunggal telah lewat. Kita seperti rindu sebuah zaman ketika dua pribadi yang kuat, dua pemimpin berbeda watak dan keyakinan politik, dua wakil terbaik dari rakyat yang mewakili sekian keragaman suku, adat, bahasa bisa bersatu menjalankan roda pemerintahan tanpa saling meniadakan.
“Hatta dan aku tak pernah ada dalam gelombang yang sama,” ujar Soekarno dalam memoarnya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. Namun, toh Soekarno tak mau meneken naskah teks proklamasi jika tak bersama Hatta, ia tak ingin membacakannya jika tak ada Bung Hatta di sampingnya.
Load more