Kritik
- tim tvonenews
Jawa memang mengakomodir kekasaran, urakan dan bajinganisme semacam itu. Kesenian Ludruk misalnya, menurut penulis James Peacock adalah kekasaran yang diberi tempat oleh masyarakat. Kekasaran pada seni Ludruk, misalnya menjadi jendela yang memasukan unsur pembaharuan dalam kebudayaan.
Gerakan protes pemuda dan mahasiswa yang selalu muncul periodik dalam sistem politik kita sejak 1928, 1945,1966 hingga 1998 ketika kekuasaan macet, agaknya melanjutkan tradisi kekasaran yang direstui oleh masyarakat. Dalam konteks ini, kita pun maklum jika kalimat-kalimat yang diucapkan orator maupun teks yang ditulis dalam poster-poster penuh dengan hujatan, kasar dan kotor.
Saya ingat bagaimana pada 1990-an, saya—bersama sejumlah aktivis mahasiswa Purwokerto, termasuk mahasiswa UIN Purwokerto menginisiasi gerakan golput (golongan putih), meminta pencabutan 5 Paket Undang Undang Politik dan menuntut militer dikembalikan ke barak.
Ini sejumlah aspirasi yang sangat “kurang ajar”, “urakan” dan “liar” kala itu.
Bagaimana mungkin saat Orde Baru tengah adigang, adigung, adiguna, kami justru menohok dengan tuntutan pada titik pusat paling menentukan dari kekuatan rezim militer ketika itu. Dengan tuduhan subversif, saya dan sejumlah rekan lain pun sesaat harus mendekam di hotel prodeo dengan status sebagai tersangka.
(Arsip Foto. Unjuk Rasa Mahasiswa era 98. Sumber: Erick Prasetya)
Namun, dari sikap urakan dan liar inilah kemudian lahir pembaharuan politik yang menyegarkan di Indonesia: demokrasi.
Setiap budaya memiliki cara untuk memperbarui diri dan bersikap kasar dan urakan membuat kebudayaan halus menemukan alternatif.
Barangkali karena itulah Rendra rutin menggelar Perkemahan Kaum Urakan sejak 1971 di Pantai Parangtritis, Yogyakarta. Rendra melatih pemuda pemuda berambut gondrong, berjaket kulit dan bercelana jeans yang datang secara spontan dari banyak daerah di Indonesia untuk sekedar berani mengekspresikan diri secara bebas dan liar mengikuti kehendak nurani.
Terkuaklah kemudian bahwa bersikap urakan cukup sulit.
“Ternyata pemuda pemuda yang tampak liar, tak punya spontanitas yang besar. Ekspresi diri mereka jinak sekali,” ujar Rendra dalam tulisan Alternatif dari Parangtritis.
(Rendra di Perkemahan Kaum Urakan 1971 di Pantai Parangtritis, Yogyakarta. Ruedi Hoffman)
Load more