Saya tak tahu, sejak kapan kita alergi pada kritik? Persisnya sejak kapan kritik dipahami hanya sebagai gergaji untuk memotong dan bukannya jamu pahit penawar racun bagi yang dikritik? Karena itu saya tak paham kenapa kritik Rocky Gerung pada Presiden Joko Widodo harus dilaporkan ke polisi oleh para pelapornya.
Padahal, budaya mengkritik penguasa bukan hanya sah di alam demokrasi, tapi budaya yang melembaga di banyak tradisi di Indonesia. Presiden adalah pemimpin yang dipilih rakyat, ia bukan raja sehingga tak bisa bilang “The King can do no wrong”.
Kearifan di Sumatera Barat menyebut pemimpin hanya ditinggikan seranting dan dimajukan selangkah.
Bahkan, dalam khazanah kekuasaan Jawa yang memiliki tradisi menyembah pemimpin seperti layaknya ratu adil, satrio piningit yang diutus Tuhan, mengenal mekanisme kontrol: raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah.
(Rocky Gerung. Sumber: istimewa)
Itulah kenapa dalam tradisi Kerajaan Islam Mataram, budaya kritik pada penguasa dilembagakan dalam laku tapa pepe. Bentuknya, raja menyediakan alun alun untuk digunakan oleh rakyat yang hendak protes dengan cara berjemur. Raja yang alim lalu akan mendengarkan langsung suara rakyat dengan memanggilnya ke istana atau mengutus pengawalnya mendengar aspirasi yang ingin disampaikan pada raja.
Cukup lama demokrasi semacam ini berlangsung di desa-desa di Jawa, bahkan tetap dipraktekkan hingga kini di Yogyakarta.
Dalam buku Nusa Jawa, Silang Budaya karya Sejarawan Denys Lombard, misalnya ditulis di masa lalu selalu ada alas, hutan kecil di sekitar perkampungan, desa-desa di Pulau Jawa yang sengaja dibiarkan lebat, angker, liar, rimbun tak berpenghuni, tapi diyakini sebagai tempat penyemaian calon-calon pemimpin.
Load more