Jakarta - Belakangan ini publik dihebohkan drama penangkapan Moch Subchi Azal Tsani (MSAT) alias Bechi tersangka pencabulan tiga santriwati di Pondok Pesantren (Ponpes) Shiddiqiyah, Jombang, Jawa Timur. Drama penangkapan itu pun turut pula disorot Badan Legislatif (Baleg) DPR RI.
Anggota Baleg DPRI RI, Luluk Nur Hamidah meminta pemerintah dapat segera menyusun aturan turunan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Regulasi tersebut dinilai dapat turut pula menjerat sejumlah orang yang mencoba menghalangi penangkapan pelaku kekerasan seksual.
Sebab, jelas Luluk, pada UU TPKS terdapat Pasal 19 yang berbunyi setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara TPKS dapat diancam pidana penjara paling lama 5 tahun.
"Untuk kasus di Jombang, pihak yang menghalangi jika diterapkan UU TPKS maka bisa dijerat pidana. Bapaknya sudah jelas terbuka minta agar anaknya tidak ditangkap. Lalu simpatisan yang secara sengaja menghalangi aparat melakukan penangkapan, apalagi dengan perlawanan," kata Luluk dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Jumat (8/7/2022).
Luluk menuturkan pemerintah pusat semestinya dapat segera merealisasikan turun UU TPKS dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) guna pedoman teknis pelaksanaan. Ditambah, pada UU TPKS terdapat amanat pembentukan 10 Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden sebagai pedoman teknis pelaksanaan.
"Meskipun UU memberikan waktu hingga 2 tahun dari sejak ditetapkannya sebagai UU, namun mengingat urgensi dan kedaruratan situasi dan kondisi kekerasan seksual di Tanah Air maka mestinya pemerintah menyegerakan dan memprioritaskan PP dan Perpres turunan UU TPKS," ungkapnya.
Di sisi lain, Luluk menyebut kasus kekerasan seksual yang belakangan terjadi seharusnya bisa dihindari jika sosialisasi yang intens dan upaya pencegahan sesuai semangat dalam UU TPKS. Karenanya, Luluk turut menyayangkan lambatnya gerak pemerintah dalam menyusun PP dan Perpres tersebut.
"Terutama karena korbannya banyak anak-anak. Baik yang terjadi di lingkungan keluarga, ataupun korban di bawah pelindungan suatu lembaga pendidikan, termasuk lembaga pendidikan keagamaan berasrama-pesantren," jelasnya.
Anggota Komisi IV DPR itu turut pula menyoroti kerja aparat penegak hukum di lapangan yang masih kesulitan dalam menerapkan UU TPKS sebagai rujukan penanganan kasus kekerasan seksual. Hal tersebut, tambah Luluk, lantaran tidak adanya sosialisasi, SOP, pelatihan dan bimbingan teknis terkait hukum acara yang digunakan dalam UU TPKS.
"Korban Kekerasan seksual pasca disahkannya UU TPKS tidak serta ditangani menggunakan hukum acara sesuai UU TPKS, karena tidak adanya pedoman teknis . Ini seharusnya menjadi atensi serius bagi pemerintah, jangan terkesan masih memiliki waktu 2 tahun lalu tidak ada alasan untuk menyegerakan PP dan Perpres," pungkasnya.(iki/toz)
Load more