Hari itu, Jumat 22 Mei 1998, sehari setelah Habibie dilantik sebagai Presiden RI ke 3 menggantikan Soeharto, Pangalima ABRI Wiranto menghadap ke ruang kerjanya. Wiranto melaporkan, bahwa pasukan Kostrad dari luar Jakarta bergerak menuju Jakarta dan ada konsentrasi pasukan di kediaman Habibie di Kuningan, demikian pula di Istana Merdeka.
"Bukankah ini bertentangan dengan petunjuk saya kemarin pada Pangab? Apakah mungkin ada skenario tersendiri mengenai laporan yang baru saja disampaikan oleh Pangab? Apakah tidak sebaiknya saya mengecek dahulu maksud dan tujuan laporan tersebut?." tulis Habibie dalam bukunya Detik-Detik yang Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi.
Sikap Habibie adalah selalu percaya pada orang, namun cek lebih baik. Tapi waktu yang tersisa tidak memungkinkan untuk mengecek laporan Wiranto tersebut. Penilaian Habibie mengenai Pangab Wiranto berdasarkan sikap dan perilakunya adalah positif. Di lain pihak, Ia harus tegas dan kejadian seperti yang dilaporkan Pangab tidak boleh ditolerir.
Lalu, sambil melihat ke jam tangan, Habibie tegaskan kepada Pangab Wiranto,
“Sebelum matahari terbenam, Pangkostrad harus sudah diganti dan kepada penggantinya diperintahkan agar semua pasukan di bawah komando Pangkostrad harus
segera kembali ke basis kesatuan masing-masing.”
Pangab Jenderal Wiranto bertanya,
“Sebelum matahari terbenam?”
"Saya ulangi, Sebelum matahari terbenam!” tegas Habibie.
“Siapa yang akan mengganti?” Jenderal Wiranto bertanya lagi.
“Terserah Pangab.” Habibie menjawab ringkas.
Foto: Habibie dan Wiranto, serta sejumlah pejabat di Istana Negara, 21 Mei 1998 (YouTube - Arsip Nasional RI)
Baca Juga: Begini Reaksi Habibie, Ketika Tahu Wiranto Diberi Semacam "Supersemar" Versi 1998 Oleh Soeharto
Sebelum meninggalkan ruang kerja Presiden, Wiranto menyampaikan, bahwa untuk mengamankan keluarga Habibie, ia sudah menginstruksikan untuk mendatangkan
Ibu Ainun dari kediaman Habibie di Kuningan, menuju ke Wisma Negara. Demikian pula Insana, istri Ilham, dengan cucu Habibie Nadia dan Pasha, diterbangkan dengan helikopter dari Bandung ke Jakarta untuk bergabung.
Ilham yang sebentar lagi mendarat di Bandara Sukarno Hatta akan dibawa ke Wisma Negara. Sedangkan Thareq dan Widia istrinya sedang dalam perjalanan. Semua keluarga Habibie untuk sementara akan bergabung di Wisma Negara.
“Untuk berapa lama kami harus tinggal di Wisma Negara?” Habibie bertanya.
“Tergantung perkembangan keadaan,” jawab Pangab Wiranto.
Habibie kemudian meminta Wiranto meninggalkannya, karena Ia harus mengecek sekali lagi Pidato Pengantar Susunan Kabinet Reformasi Pembangunan. Setelah Pangab meninggalkan ruang kerjanya, Habibie merenungkan sejenak, mengenai keadaan sekitar keluarganya.
"Saya bertanya kepada diri saya, Mengapa keluarga saya harus dikumpulkan di satu tempat? Apakah tidak lebih aman jikalau anak-anak dan cucu-cucu saya tinggal ditempatnya masing-masing dan dilindungi oleh Pasukan Keamanan Presiden? Mengapa harus dikumpulkan di satu tempat? Pertanyaan ini terus timbul di hati saya." ungkap Habibie.
Menjelang waktu makan siang, Protokol Presiden memasuki ruangan dan melaporkan bahwa seluruh keluarga Habibie sudah sampai di Wisma Negara dan menanti untuk makan siang bersama. Ia diharapkan ikut bergabung.
"Berulang kembali pertanyaan pada diri saya, mengapa untuk kepentingan pengamanan, seluruh keluarga saya harus berkumpul di satu tempat? Apakah tidak lebih aman jikalau keluarga saya masih tetap di tempatnya masing-masing?. Saya teringat nasib keluarga Tsar Romanov dari Rusia yang semuanya dibunuh di satu tempat dalam revolusi kaum Bolshevik." tulis Habibie, menceritakan kecemasannya tentang kondisi keluarganya saat itu.
Pemikiran yang mengerikan timbul dalam benak Habibie.
"Membayangkan hal tersebut, lalu saya kembalikan pada pegangan agama saya. Saya bersyukur telah menikmati proses pembudayaan yang mengakar pada agama Islam yang sangat kuat. Almarhum ayah saya meninggal sewaktu beliau sedang menjadi Imam memimpin shalat Isya bersama keluarga."
Habibie berkisah, ketika itu Ia berusia 13 tahun. Peristiwa 48 tahun yang lalu, tiba-tiba terbayang kembali. Ia masih dapat merasakan dan melihat sewaktu ayahnya sujud sambil mengucapkan: Allahu Akbar.
"Ayah meninggalkan kami untuk selama-lamanya menghadap Allah SWT, di hadapan kami sekeluarga yang sedang shalat." kenang Habibie.
"Apakah nasib saya akan seperti almarhum ayah kandung saya, berpisah dengan keluarga untuk selama-lamanya di hadapan istri, anak, dan cucu? Ataukah nasib
kami sekeluarga akan berakhir seperti keluarga Tsar Romanov dari Rusia?
Mengapa harus demikian? Apa yang harus saya laksanakan? Tiap orang yang beragama dan percaya pada eksistensi Tuhan YME percaya bahwa hidup dan mati seseorang ditentukan oleh Allah SWT Yang dikehendaki Tuhan YME adalah yang terbaik dan pasti akan terjadi." tulis Habibie.
Baca Juga: Langkah Habibie yang Tak Boleh Diketahui Siapapun, Bahkan Ainun
Habibie pasrah, Ia terima apa adanya dan dengan tenang menghadapi semuanya tanpa bertanya: Kenapa? Mengapa? Bagaimana? Karena semua Ia laksanakan dengan iktikad dan niat membantu memperbaiki nasib dan masa depan bangsa Indonesia yang saya sangat cintai.
Sambil mengucapkan bismillahirrahmanirrahim, Habibie meninggalkan ruang kerja Presiden didampingi beberapa perwira tinggi dan perangkat pengamanan militer lengkap dengan senjata mereka.
"Para perwira pengamanan itu, kecuali Letjen Sintong Panjaitan, baru saya lihat wajahnya, sebagian besar tidak saya kenal." ungkap Habibie.
Foto: Habibie membacakan sumpah jabatan sebagai Presiden RI ke 3, 21 Mei 1998 (YouTube - AP Archive)
Di Wisma Negara, saya menemui istri saya, Ainun, bersama anak dan cucu. Kecuali cucu saya yang sedang bermain, di wajah mereka semua tecermin kebingungan dan
keprihatinan.
“Mengapa kita harus berada di sini? Berapa lama kita harus tinggal di sini?” demikian pertanyaan mereka semua. Ainun menceriterakan bahwa sewaktu sedang menerima istri Duta Besar Republik Rakyat China, ADC, dan beberapa anggota pasukan pengamanan masuk ruangan tamu di Kuningan dan memintanya dengan hormat untuk segera bergabung dengan saya di Wisma Negara.
Kepada tamu dan istri saya ketika itu, dipersilakan segera mengakhiri pertemuan. Permintaan itu disampaikan tanpa penjelasan, sehingga menimbulkan berbagai pertanyaan bagi istri saya.
Dalam perjalanan ke Wisma Negara, istri saya sempat melihat gerakan-gerakan massa yang berdemo. Demikian penjelasan istri saya, Ainun. Saya dan keluarga tidak banyak berbicara, karena semuanya berpikir dan beranalisis, mengambil kesimpulan masing-masing.
"Kami makan siang bersama, namun semuanya dalam keadaan tegang, sehingga nafsu makan pun tidak ada." tulis Habibie. (Buz)
Load more